Jumat, 19 Februari 2016

persaudaraan menurut Islam dan Kristen

PERSAUDARAAN MENURUT ISLAM DAN KRISTEN
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Studi al-Quran dan Hadis
Dosen pengampu Dr. Ahmad Baidowi, M. Si.


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
PERSAUDARAAN MENURUT ISLAM DAN KRISTEN

Latar Belakang
Kehidupan bersama umat manusia ditandai dengan yang disebut kemajemukan agama, dalam kehidupan bersama kita akan menjumpai orang-orang yang tidak seagama dan seiman dengan kita, namun bersama mereka kita dipanggil untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Artinya kita dipanggil untuk hidup rukun selaras dan damai. Hal itu tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan. Perbedaan akan selalu ada namun perbedaan itu tidak untuk menciptakan suatu pertentangan, melainkan untuk saling memperkaya dan menyempurnakan. Hal ini seyogyanya dapat terwujud dengan baik ketika setiap diri manusia dapat menanamkan rasa persaudaraan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa setiap agama tidak ada yang mengajarkan perselisihan justru setiap agama menekankan persaudaraan yang sejati. Namun, setiap persaudaraan yang terkandung dalam setiap agama memiliki beragamam makna. Maka dari itu penulis bermaksud memaparkan persaudaraan yang sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Islam dan Kristen. Untuk lebih lengkapnya akan penulis bahas pada bab selanjutnya.

Pembahasan
A.    Persaudaraan Menurut Islam
1.      Makna Persaudaraan
Persaudaraan dalam Islam disebut jyga dengan Ukhuwwah. Pada mulanya Ukhuwwah berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya, persaudaraan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Makna terakhir ini antara lain ditunjuk oleh Firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 27 yang berbicara tentang persamaan sifat-sifat manusia yang boros dengan setan.
 Dalam al-Quran dijelaskan bahwa bentuk jamak akh ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali, sebagian digandengkan dengan kata al-din, seperti dalam Surat Al-Taubah ayat 11 Jika mereka bertobat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui”. Dan sebagian lainnya tanpa kata al-din seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 220.
Kedua, ikhwah yang terdapat dalam Al-Quran sebanyak tujuh kali. Keseluruhannya digunakan untuk makna persaudaraan keturunan (kecuali satu ayat: Innama al-muminuna ikhwan (Al-Hujurat:10). Dari kedua arti di atas menurut Quraish Shihab bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antarsesama Muslim. Seakan-akan hal tersebut mencerminkan bahwa hubungan tersebut dijalin bukan saja oleh keimanan mereka yang dalam ayat itu ditunjukan oleh kata al-muminun tetapi ia seakan dijalin pula persaudaraan sekuturan yang  ditunjuk oleh kata ikhwan tersebut. Sehingga tidak ada satu alasan untuk meretakkan hubungan antar mereka.
Dalam prespektif Quraish Shihab, Ukhuwwah Islamiyyah dipahaminya sebagai persaudaraan secara Islam yang dalam ajaran pokoknya mengajarkan kerukunan intern umat Islam. Ukhuwwah dalam arti persamaan dalam Al-Quran dan Sunnah dapat tercermin dalam empat hal berikut ini:[1]
(1)   Ukhuwwah fi al-ubudiyyah yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-An’aam ayat 38 “ Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Persamaan ini antara lain dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah (Al-Baqarah: 28)
(2)   Ukhuwwah fi al-insaniyah dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara karena semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Surat al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang hal ini. Rasul saw. juga menekankannya dalam sabda beliau “ Kunu ibad Allah ikhwana al-ibad kulluhum ikhwan”
(3)   Ukhuwwah fi al-wathaniyah wa al-nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang diisyaratkan oleh ayat Wa lia ad akhahum Hud, dan lain-lain.
(4)   Ukhuwwah fi din al-Islam. Persaudaraan antarsesama Muslim seperti bunyi surat Al-Ahzab 5. Demikian juga dalam sabda Rasul Saw: “Antum ashabiy, ikhwanuna al-ladzina yatuna badiy (kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat] ku).
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokok pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seseorang saudara merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan tangan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give tetapi justru “mengutamakan orang lain walau dirinya sendiri kekurangan” (QS 59:9) selain itu rasa tenang dan nyaman saat berada bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan ekonomi juga merupakan faktor penunjang lahirnya persaudaraan. Islam sangat menekankan persaudaraan terhadap sesama muslim dan juga terhadap non muslim, sebagaimana yang terkandung dalam surat Al Imran ayat 64 dan Saba ayat 24-25.
Secara spesifik Qurais Shihab menyebutkan bahwa surat Hujurat ayat 10 dapat dijadikan sebagai landasan untuk pematangan ukhuwah Islamiyah. Ayat tersebut berbunyi:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Al-Hujurat: 10).
 Ayat tersebut menjadikan konsekuensi dari persamaan iman adalah melakukan ishlah antarsesama saudara. Kata Ishlah dalam hal ini bukan menunjukan sikap kejiwaan tetapi justru digunakan dalam kaitan perbuatan nyata. Ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang yang berselisih tetapi menghadirkan kata tersebut dalam kehidupan nyata misalnya dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia ada sebagian orang atau kelompok muslim mengalami keterbelakangan ekonomi maka seyongyanya kewajiban muslim lainnya menghadirkan nilai ishlah dalam diri setiap muslim sehingga yang terwujud adalah bentuk nyata atau wujud fisik material.
Ayat-ayat Al-Quran dan  Hadis nabi yang berbicara mengenai petunjuk dalam bidang ekonomi bertujuan untuk memantapkan ukhuwah tersebut. Dimulai dari larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2:188), larangan riba (QS 2: 278), anjuran menulis hutang (QS 2: 282) larangan mengurangi dan melebihi timbangan (QS 83: 1-3) dan sebagainya. Salah satu hadis yyang popular dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar.
Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang lain. Ia tidak menganiayanya,tidak pula menyerahkannya kepada musuhnya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Siapa yang melapangkan suatu kesulitan seorang Muslim, Allah akan melapangkan suatu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi di hari kemudian. Dalam riwayat Tarmidzi dari Abu Hurairah larangan di atas dilengkapi dengan, la yathunuh, la yakdzibuh, wa la yakhdzunuh (ia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan). Demikianlah terlihat betapa ukhuwah Islamiyah akan menghantarkan manusia kepada hasil-hasil konkret yang nyata dalam kehidupan.[2]
Sebagaimana pula yang dijelaskan oleh Muhaimin tentang surat Al-Hujurat ayat 10 yang  menurutnya bahwa ukhuwah bertujuan untuk saling mengerti dan membangun kerjasama di dunia. Dengan demikian ukhuwah Islamiyah berarti hubungan persaudaraan yang didasarkan atas persamaan dan keserasian prinsip kehidupan dan ditopang oleh pemahaman Islam secara universal. Oleh karenanya dalam Ukhuwah Islamiyah tidak diisyaratkan adanya kesamaan pendapat umat secara keseluruhan karena dalam Ukhuwah Islamiyah dimungkinkan adanya perbedaan dan ketidaksesuaian, hanya saja semua itu tidak bersifat esensi dan prinsipil dan tidak menyalahi kaidah pokok Islam. Ukhuwah Islamiyah hanya menghendaki sikap hidup yang toleran dan menghormati sesama manusia.[3] Ukhuwah Islamiyah pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan kerukunan intern umat Muslim melainkan kerukunan antar umat-umat berbeda agama, HS. Prodjonusumo menegaskan bahwa kerukunan antar umat-umat berbeda agama sebagaimana yang dicontohkan bahwa di jaman Nabi Saw Madinah berpenduduk tidak hanya kaum Muslimin, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama lain yaitu Yahudi, Nasrani, dan kaum Musyrikin. Dan tidak hanya penduduk asli Madinah yaitu Anshor tetapi juga Muhajirin dan Makkah dan orang-orang yang datang dari negeri asing. Semua penduduk hidup rukun di bawah naungan Nabi, masing-masing memikul kewajibannya dan mempunyai hak masing-masing. Berlaku kebebasan memeluk satu agama yang dipilih, tidak boleh bermusuhan.
Hubungan antara muslim dan pemeluk agama lain yang disebut kerukunan hidup antar umat-umat beragama yang berbeda dalam Islam tidak ada halangan. Bahkan manusia harus memberikan maaf kepada orang-orang yang pernah dimusuhinya. Hubungan muslim dengan penduduk berbeda keturuna, etnis juga tidak ada halangan, dengan mengingat  bahwa manusia itu berasal dari asal yang sama yaitu asal dari satu (surat An-Nisa 1) “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Demikian persaudaraan menurut Islam sebagaimana yang dicerminkan dalam surat Al-Hujuran ayat 10. Dari penafsiran di atas, menurut analisis penulis bahwa penafsir ayat tersebut lebih menekankan persaudaraan terhadap intern umat Muslim. Dalam menciptakan persaudaraan pun tampak lebih konkrit tidak lagi dipahami sebatas persaudaraan yang hanya saling memahami tetapi dilakukan dengan langkah nyata yaitu memberikan bantual materil bagi Muslim yang membutuhkan. Selain itu HS. Prodjonusumo menurut hemat saya telah melakukan pemahaman persaudaraan lebih bersifat terbuka (inklusif) dengan menyebutkan adanya persaudaraan yang harus diwujudkan pula terhadapa umat beragama lainnya. Hanya saja penekanan dalam menciptakan persaudaraan dengan wujud nyata sebatas ditunjukan untuk sesama muslim. Sementara persaudaraan terhadap antar umat beragama lainnya yang penulis tangkap hanya sebatas saling menghormati dan toleransi.

2.      Prinsip-Prinsip Persaudaraan.
Prinsip ukhuwah fi dinal Islam harus diorientasikan pada delapan prinsip pokok yaitu
(1) Ukhuwah Islamiyah ditegakkan atas akidah yang mantap yaitu akidah yang disimpulkan dalam kalimat “ La ilah illa Allah wa Muhammad Rasul Allah
(2) Al-Tasamuh fi al-ikhtilaf, yaitu adanya toleransi dalam setiap perbedaan pendapat. Karena perbedaan pada dasarnya tidak berkaitan dengan ushuluddin (pokok agama). Dan perbedaan itu hakikatnya merupakan rahmatan bagi kita umat Muhammad “ikhtilaf ummatir rahmah” (perbedaan pendapat antara umatku merupakan suatu rahmat). Dengan adanya ikhtilaf yang didasari sikap tasamuk maka umat Islam berlomba-lomba dalam mencari dan menemukan kebenaran.
(3) Al-Ta’awwun, yakni bekerja sama antarperson dan antarorganisasi keislaman. Masing-masing person dan masing-masing organisasi bergerak di bidang sendiri tanpa meninggalkan konsolidasi terhadap person atau organisasi yang bergerak di lain bidang.
(4) Al-Tawazun yaitu sikap perimbangan antara semua bidang baik antara perimbangan antara kepentingan person dengan kepentingan organisasi, kepentingan organisasi sendiri dengan organisasi keislaman lain. Karena semua ibarat sayap burung yang saling bergantian mengepak, suatu saat yang kanan tinggi sedang yang kiri rendah. Demikian juga sebaliknya.
(5) Al-Tawassuht yaitu bersikap sederhana dan tidak memihak diantara sesama muslim dan sesama organisasi. Sabda Nabi SAW: “khoirul umur awsathuha” (sebaik-baik perkara adalah yang paling sederhana)
(6) Al-Wahdan wa ittishal, yaitu adanya integritas dan konsoliditas antara umat Islam, baik di bidang ibadah, muamalah, yang mencakup di bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, pertahanan-keamanan, dan sebagainya.
(7) Memandang Islam sebagai agama yang “rahmah lil ‘alamin”, yakni agama yang memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia bahkan seluruh kosmis. Konsep tersebut harus ditopang dengan landasan yang kuat, yaitu landasan kiblat umat yang disimpulkan dalam ka’bah sebagai sarana kesatuan tauhid seluruh umat Islam, serta berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai jalan hidup dan penengah bila terjadi perselisihan antar umat Islam.
(8) Membentuk pemerintahan yang islami, dimana pemimpin yang diundang-undangnya didasarkan atas undang-undang Allah SWT dan Rasul-Nya.[4]

3.      Hambatan Dalam Membangun Persaudaraan
Adapun dalam membangun persaudaraan tidak terlepas dari beberapa hambatan diantaranya:
  1. Berbagai pertentangan yang terjadi sering diakibatkan oleh pemahaman Islam yang tidak komprehensif dan kaffah (aspek pemahaman).
  2. Ta’asub dan fanatisme yang berlebih-lebihan terhadap kelompoknya sendiri dan cenderung meremehkan (menihilkan) kelompok lain, padahal masih sesame umat Islam.
  3. Kurang tasmuh (toleransi) terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi, sehingga menutup pintu dialog yang kreatif dan terbuka.
  4. Kurang bersedia untuk saling bertausiyah (saling menasehati) antara sesama umat Islam untuk mengurangi (menghilangkan) berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada (aspek keikhlasan).
  5. Kurang memahami kawan dan lawan yang sesungguhnya, sehingga sering salah mengantisipasi dan mengambil kesimpulan.
  6. Kurang memiliki skala prioritas pekerjaan yang harus dilakukan, sehingga mudah tercecer dalam implementasi dan aplikasinya.
  7. Belum terbiasa dalam melakukan pembagian tugas baik antar individu maupun antar lembaga atau organisasi yang dimiliki umat.[5]

B.     Persaudaraan menurut Kristen
1.      Makna Persaudaraan
Makna persaudaraan menurut Kristen terkandung dalam Alkitabiah. Pada dasarnya persaudaraan tersebut terbagi dalam dua kategoria, persaudaraan intereligius dan persaudaraan ekumenis. Persaudaraan intereligius berlandaskan pada, Pertama, kitab suci mewartakan bahwa Yesus kristus telah memperkenakan Allah sebagai Bapa (lih. Mat.6: 9-13 dan Luk 11: 2-4). Allah adalah Bapa semua orang yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (Mat 5 :45). Bahkan Allah bapa menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2: 4), itulah sebabnya dalam Yesus Kristus, kita pun dipanggil untuk menerima semua orang sebagai saudara, baik yang berkehendak baik maupun yang tidak berkehendak baik sekaligus.
Kedua, Tuhan Yesus Kristus yang memperkenalkan dan mengajarkan kepada kita bahwa Allah adalah Bapa kita, Bapa semua orang, juga mengajarkan umatnya  agar mengasihi Allah dan mengasihi sesama, bahkan orang-orang yang memusuhi kita. Maka, dasar Alkitabiah bagi persaudaraan sejati adalah hukum kasih itu. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum kedua yang sama dengan hal ini ialah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat 22: 37-39, Mrk 12: 28-33, dan Luk 10:25-27 ). Itulah hukum kasih kepada Allah dan sesama. Sementara hukum mengasihi musuh jelas disabdakan-Nya, “ Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang disurga yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar ( Mat 5: 44-45).
Ketiga, dalam Injil Tuhan Yesus juga mengajak kita untuk mengedepankan upaya berdamai dengan lawan-lawan kita. Maka Tuhan bersabda “segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerang engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara” (Mat 5: 25). Firman ini ditegaskan lagi oleh St. Paulus, “ Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang (Rm 12: 18).
Cinta kasih adalah dasar relasi antarmanusia, Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa hukum terbesar dan dasar kerajaan Allah adalah cinta kasih. Cinta kasih kepada Tuhan diwujudkan dalam mengasihi sesama. Cinta kasih kepada sesama seperti cinta kasih kepada Tuhan juga menjadi perintah pokok dalam mengatur hubungan antarsesama. Hal ini menjadi pedoman seluruh kegiatan dan sikap terhadap sesama, artinya seorang Kristiani akan memperlakukan sesam dengan baik disegala bidang, akan menghormati hidup, kesehatan dan nama baik sesama. Cinta kasih kepada Tuhan dan sesame itu menembuh batas-batas. Ia tidak perduli warna kulit seseorang, suku seseorang, jenis kelamin, agama atau apa pun. Cinta kasih kepada Tuhan dan sesame itu universal. Karena itu, meski manusia mengembangkan cinta kasih yang inklusif yang terbuka terhadap semua orang, bukan hanya kepada suku, agama dan ras tertentu.
Sementara persaudaraan ekuminis terkandung dalam Pertama, Tuhan Yesus berdoa agar semua orang yang percaya kepada-Nya bersatu. Ini berarti semua umat Kristiani harus terus mewujudkan persatuan dan kesatuan demi terhayatinya persaudaraan sejati. Inilah doa Yesus itu, “Ya tuhan aku berdoa, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17: 21)
Kedua, St. paulus pun mengingatkan bahwa kristus adalah satu dan tidak terbagi-bagi. Maka, umat kristiani pun mesti menghayati kesatuan dan persatuan itu dalam semangat persaudaraan sejati. Kepada umat di korintus St. Paulus menegaskan, “Adakah Kristus terbagi-bagi?” (1Kor 1: 13). Demikian pula, St. Paulus menggambarkan bahwa semua orang yang telah dibaptis adalah satu tubuh dalam Kristus. “Sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu sekalipun banyak merupakan satu tubuh demikian pula Kristus. Sebab dalam satu roh kita semua baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota tetapi atas banyak anggota” (1Kor 12: 12-14).
Menurut hemat saya, meskipun persaudaraan dalam Kristen terbagi menjadi dua kategori, tetapi pada dasarnya persaudaraan yang berada diluar tubuh kekristenan atau di dalam tubuh kekristenan itu sendiri bersifat inklusif yang ia tidak membatasi persaudaraan berdasarkan perbedaan jenis kulit, agama dan lain sebagainya. Melainkan ia menekankan bahwa manusia pada hakikatnya berasal dari satu Bapa yang seyogyanya satu sama lain saling bersaudara dalam kasih. Sehingga dalam kehidupan manusia diperintahkan untuk saling menghormati.

2.  Prinsip-Prinsip Persaudaraan
Dalam membangun nilai-nilai persaudaraan umat Kristiani sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasul Paulus. “Buah Roh ialah: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal. 5, 22-23).[6] Dalam hal ini yang menjadi pilar utama yaitu kasih. Kasih dalam bahasa Yunani ada empat lingkup yang berbeda. Kata benda stroge dengan kata kerjanya stergein berarti kasih mesra dari orang tua kepada anaknya dan sebaliknya. Kata benda eros dengan kata kerjanya eran yaitu kasih asmara antara pria dan wanita yang mengandung nafsu birahi. Kata benda Philia dengan kata kerjanya philein berarti kasih sayang yang sejati antarsahabat dekat. Kata benda agape dengan kata kerjanya agapan yang berarti kasih yang tanpa perhitungan apa pun dan tanpa perduli orang macam apa yang dikasihinya.
Kasih agape inilah yang dimaksudkan Yesus. Kasih agape tidak pernah buta terhadap kelemahan manusia tetapi kelemahan itu tidak juga mampu memadamkan api cintanya. Kasih agape adalah tanpa pamrih dan sama sekali tidak memperhitungkan kelakukan orang lain baik sikap, perkataan ataupun perbuatan yang menghina, menyakiti, dan menyusahkan. Kasih agape adalah keutusan dan ketetapan sikap secara sadar dan sengaja untuk memperlakukan orang juga yang berbuat jahat dengan kebajikan tak terbatas dan kehendak baik semata. Jadi dengan kasih segala daya upaya sebagaimana yang disebutkan di atas dapat dilakukan dengan baik.[7]

3.      Hambatan Dalam  Membangun Persaudaraan 
Hal yang menghambat persaudaraan dalam Kristen sebagaimana Rasul Paulus mengatakan bahwa “Buah daging ialah: perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, roh pemecah, kedengkian, kemabukan” (Gal. 5, 19-20).[8] Sikap yang tertera tersebut pada ujungnya akan melahirkan kecurigaan, penindasan, kekerasan, pembakaran, peperangan dan lain sebagainya. Sehingga kehidupan antar manusia tidak akan damai bahkan persaudaraan akan sulit terjalin.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, menurut hemat saya bahwa setiap agama menganjurkan persaudaraan menjadi sejati, meskipun dalam aplikasi masih sukar untuk dipahami dalam berbagai kalangan masyarakat. Namun perlu diingat bahwa sejarah bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan tidak terlepas dari rasa persaudaraan yang dalam hal ini tidak milah-milih latar belakang berdasarkan agama atau suku dalam membangun satu kesatuan. Oleh karena itu perbedaan tidak lantas dijadikan momok untuk menebar konflik, justru perbedaan selayaknya disikapi dengan hati terbuka untuk saling memahami satu sama lain. Sehingga persaudaraan yang diajarkan dalam setiap agama dapat terwujud.






Daftar Pustaka
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman. Yogyakarta: Kanisius. 2014.

Hafidhuddin,Didin. Islam Aplikatif . Jakarta: Gema Insani. 2003.

Mardiatmaja, dkk. Roh Kudus Membangun Persaudaraan Sejati. Jakarta: Sekretariat Komisi PSE/APP-KAJ bekerjasama dengan LDD-KAJ. 1998.

Muhaimin, dkk. Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada. 2012.

Projokusumo,HS. Mempererat Tali Persaudaraan dalam Kesatuan Bangsa .Jakarta: Yayasan Amal Bakti Masyarakat. 1990.

Stanislaus, Surip. Mematahkan Siklus Kekerasan. Yogyakarta:Kanisius. 2007.




[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 559-562.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hlm. 563-566.
[3] Muhaimin Dkk, Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana Prenada ,2012) hlm. 346
[4] Muhaimin Dkk, Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana Prenada ,2012) hlm. 349-350.

[5] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 158.

[6] Mardiatmaja dkk, Roh Kudus Membangun Persaudaraan Sejati (Jakarta: Sekretariat Komisi PSE/APP-KAJ bekerjasama dengan LDD-KAJ, 1998), hlm. 113.

[7] Surip Stanislaus, Mematahkan Siklus Kekerasan (Yogyakarta:Kanisius, 2007), hlm. 64-65.

[8] Mardiatmaja dkk, Roh Kudus Membangun Persaudaraan Sejati (Jakarta: Sekretariat Komisi PSE/APP-KAJ bekerjasama dengan LDD-KAJ, 1998), hlm. 113

0 komentar:

Posting Komentar