Jumat, 19 Februari 2016

kyai


SEPAKTERJANG SANG KYAI
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kulbeliauh
Metodologi Penelitian Agama
Dosen pengampu Dr. Moh. Soehadha


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


A.    Hasil Penelitian
Di suatu desa tepatnya di desa Sembigo Maguwoharjo Kecematan Depok Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta berdiri sebuah pesantren yang bernama Pondok pesantren Pangeran Diponegoro. Pesantren ini berada di tengah-tengah rumah warga. Adapun salah satu sosok yang berperan dalam mendirikan pesantren tersebut berinis beliaul SA. SA dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang religius. Beliau lahir di lingkungan religius, tepatnya di daerah Blitar pada tanggal 3 Januari 1950. Silsilah keluarganya pun tampak religius, tercermin dari beberapa keluarga memiliki pesantren di wilayah tersebut. Beliau mengenyam pendidikan hingga jenjang strata dua di salah satu Universitas Negeri yang ada di Yogyakarta. Pasca mengenyam pendidikan di Yogyakartra, pada tahun 1970 beliau memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Di wilayah ini pula beliau menemukan dambaan hati yang berinisial M. Yang kemudian beliau menikah dan dikaruniai 4 orang anak, anak pertama berinisial A dengan jenis kelamin laki-laki, kedua berinisial R dengan jenis kelamin perempuan, anak ketiga berinisial AH dengan jenis kelamin laki-laki, dan anak terakhir berinisial HA dengan jenis kelamin perempuan.
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, SA mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar di salah satu Universitas Islam yang berada di Yogyakarta. Step by step beliau menjalankan pekerjaannya dengan baik, yang pada kesempatannya menghantarkan beliau menjadi salah satu pejabat kampus yang ada di tempat beliau mengajar. Saat itu beliau menduduki jabatan sebagai Pembantu Dekan 1 di Fakultas Adab. Yang selanjutnya beranjak memegang jabatan sebagai Pembantu Dekan 2, hingga akhirnya beralih menjadi Dekan di fakultas tersebut. Keberadaan beliau terbilang memiliki peran penting di Fakultas Adab. Namun sebelum masa jabatan berlangsung, beliau berkecimpung di bidang lainnya, tepatnya di ormas Nahdlatul Ulama’ (NU). Di ormas tersebut, beliau menduduki jabatan sebagai Rois Suriah NU Kecamatan Depok pada tahun 1990.
Dalam jabatannya itu, beliau memiliki program untuk membuat rancangan atau mengembangkan pusat pendidikan keagamaan (pesantren) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan NU untuk dapat melaksanakan atau mewujudkan ajaran syariat Islam di dalam masyarakat untuk mencapai kemaslahatan umat. Guna merealisasikan program itu, beliau beserta rekan-rekan mulai meninjau lokasi-lokasi yang ada di masyarakat, yang pada saat itu lokasi peninjauan berada di Kecamatan Depok. Di kecamatan itu telah berdiri sebuah sekolahan TK, MI, dan MTs Ma’arif yang sedang berada dalam kondisi mengkhawatirkan, lebih tepatnya hampir gulung tikar. Melihat kondisi tersebut, beliau dan teman-teman sangat prihatin yang pada akhirnya memutuskan untuk mengembangkannya dengan merintis sebuah pesantren. Singkat cerita, pada tahun 1998 mulailah ditata sekolah-sekolah yang telah ada sekaligus meresmikan podok pesantren, SMK dan panti asuhan. Pendirian tersebut dibantu oleh beberapa tokoh yang berpengaruh, diantaranya yang berinisial IK, JS, M, AM, dan S. Semasa proses pendirian pondok pesantren, SMK, dan panti asuhan tidak terlepas dari pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat tidak mendukung aktifitas dari program tersebut karena adanya pondok telah mengganggu tradisi masyarakat setempat yang erat dengan tradisi ziarah kubur dengan tujuan untuk memohon doa pada orang yang telah mati, yang kemudian SA berusaha melakukan dialog dengan masyarakat sekitar dengan cara merubah mindset yang telah berkembang dimasyarakat mengenai ziarah menjadi mendoakan yang telah mati agar tenang dialamnya. Dengan cara demikian pada akhirnya perselisihan dapat diatasi dan  hingga saat ini tampak damai.
Pondok pesanter yang ada di wilayah tersebut dikenal dengan pondok pesantren Diponegoro. Yang membedakan pondok tersebut dengan yang lain diantaranya terkait kepemimpinan atau kepengurusan dalam pondok tersebut, kepemimpinannya tidak mempertimbangkan silsilah keluarga pengasuh atau pemimpin pondok secara penuh atau bersifat turun temurun. Justru dalam pondok ini lebih menekankan kerjasama dengan banyak pihak. Sehingga kepemimpinan atau kepengurusan pondok tersebut dapat digantikan oleh siapapun berdasarkan keputusan bersama. Adapun kegiatan dalam pondok tersebut diantaranya mengaji Al Qur’an yang dilaksanakan setiap pagi, bersih-bersih, lalu bersekolah, selanjutnya tadarus Al Qur’an, bersih-bersih, Madrasah Diniyah, dan yang terakhir istirahat. Poin penting yang membedakan aktivitas pondok ini dengan pondok lainnya adalah kebersihan. Pondok ini sangat memberikan perhatian khusus terhadap kebersihan lingkungan hingga pondok yang terbilang masih dini  telah menunjukkan perkembangannya yang signifikan dan mendapatkan penghargaan atas tingkat kebersihan yang selalu dijaga dalam pondok ini.
 Hal tersebut tidak terlepas dari kontribusi SA. SA dalam hal ini memiliki peran yang sangat besar, selain tingkat kebersihan yang semakin diperhatikan, beliau juga membuat bangunan pondok semakin megah dan terjaga. Tutur SA, hal ini beliau lakukan karena pada dasarnya mindset yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat mengenai pesantren selayaknya harus diubah yaitu dengan cara-cara yang beliau lakukan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, diantaranya kepemimpinan yang tidak harus jatuh kepada keluarga pemimpin pondok. Keberadaan pondok tidak hanya mengembangkan ilmu kognitif (pengetahuan) semata, tetapi harus tercermin pula dalam perilakunya baik dari santri maupun dari pemimpin pondok, sehingga semakin ilmu religi tidak hanya diucap dalam lisan tapi di resapi oleh hati dan diwujudkan oleh prilaku.  Satu hal lagi kontribusi dari SA yaitu mindset bahwa santri mencari kyai diubah menjadi kyai menjemput santri, sehingga para remaja atau santri tidak terjerumus pada keyakinan atau ajaran yang tidak selayaknya ia ikuti atau dengan kata lain sesat, sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan dalam media-media.
 Dari pola pikir SA tersebut pada ujungnya mempengaruhi pola kinerjanya pula ketika beliau menduduki jabatan sebagai Dekan di Universitas Islam yang ada di Yogyakarta. Hal ini dapat ditemukan dari bangunan atau ruang yang ada di fakultas yang ia pimpin, dimana fakultas tersebut tanpa berbeda dengan fakultas lainnya, fakultas itu tampak nyaman dan teduh. Selain hal itu juga tercermin pada sikap beliau yang tetap memberikan hak bagi pihak-pihak lawan saat beliau menjabat sebagai Dekan. Beliau dengan suka rela memberikan pihak yang menjadi lawan pada saat itu untuk tetap menlanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi, dalam hal ini penulis tidak akan menyebutkan salah satu contohnya.
 Kembali lagi pada pembahasan tentang pondok pesantren yang SA gagas, dimana selain keistimewaan pondok yang telah disinggung di atas, pondok ini juga memiliki keperdulian terhadap dhuafa seperti yatim piatu dan anak jalanan. Kepeduliannya ini diwujudkan dengan dibentuknya panti asuhan. Penghuni panti tersebut tidak dipungut biaya seperserpun, salah satu penghuni dari panti asuhan tersebut dapat kita jumpai disekitar perempatan jalan Urip Sumoharjo dengan Adi Sucipto yang berinisial UH yang berpropesi sebagai penjual koran. Lain halnya mengenai pondok pesantren, penghuni pondok tersebut diwajibkan untuk mengeluarkan biaya sebesar Rp200.000,-/bulan tiap santri dari jumlah keseluruhan 150 santri. Meskipun biaya operasional yang diterima pondok cukup kecil dan tidak ada donasi tetap, namun pesantren tersebut dapat memenuhi kebutuhan dengan cukup baik. Lain halnya dengan sekolahan yang ada di pondok tersebut, sekolahan itu bersifat terbuka untuk siapa saja yang ingin meniti pendidikan di sekolah tersebut dengan diberikan kebebasan untuk memilih santri atau tidak. Namun aktivitas sekolahan tetap menjunjung tinggi nilai relegius. Hal ini tampak dari kegiatan sekolahan yang mewajibkan shalat Dhuha setiap hari secara berjamaah dan lain sebagainya. Selain itu, setiap wali dari siswa atau santri di sekolah tersebut juga diwajibkan mengaji, konsolidasi antara wali murid dan pesantren, mujahadah bagi wali murid dan masyarakat setiap malam senin legi dan silaturahim atau berkunjung ke rumah para pengasuh pesantren. Sekolah di desa ini tampak besar terlihat dari banyak ruang yang ada dan luas wilayah dengan jumlah siswa-siswi yang cukup banyak.
Dewasa ini, pasca SA purna bakti (pension) pada tahun 2015 dari hiruk pikuk universitas, beliau lebih mengabdikan dirinya sebagai pengasuh dari pondok pesantren Diponegoro. Selain itu juga menjadi motivator pesantren di wilayah-wilayah tertentu. Hal unik yang ada dalam sosok SA yaitu sebagai mantan intelektual Universitas, beliau tidak memutuskan untuk menompang eksistensinya dengan menuangkan ide ide briliannya dalam sebuah tulisan sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, justru beliau memilih melakukan tindakan nyata ketimbang argumentasi semata. Menurut beliau aksi lebih abadi, baginya pesantren masa depan karena pesantren tidak membatasi golongan status sosial. Sementara pekerjaannya yang lalu bagian masa lalu, yang harapannya masa lalunya tersebut dapat menjadi lebih baik dengan tidak menjadikan sistem pemerintah sebagai sentiment pribadi semata justru menjadi tugas manusia bersama. Demikian life study yang penulis dapat paparkan.

B.     Metodologi Penelitian
Dalam life study ini penulis pertama kalinya melakukan pengamatan disekitar wilayah penelitian selanjutnya penulis melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara kepada tokoh utama yang berinesial SA dikediamannya yang berada di lingkungan pesantren Diponogoro.

0 komentar:

Posting Komentar