SEPAKTERJANG SANG KYAI
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kulbeliauh
Metodologi Penelitian Agama
Dosen
pengampu Dr. Moh. Soehadha

Disusun Oleh:
Ita
Fitri Astuti
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
A.
Hasil
Penelitian
Di suatu desa tepatnya
di desa Sembigo Maguwoharjo Kecematan Depok Kabupaten Sleman Daerah Istimewa
Yogyakarta berdiri sebuah pesantren yang bernama Pondok pesantren Pangeran
Diponegoro. Pesantren ini berada di tengah-tengah rumah warga. Adapun salah
satu sosok yang berperan dalam mendirikan pesantren tersebut berinis beliaul SA.
SA dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang religius. Beliau lahir di
lingkungan religius, tepatnya di daerah Blitar pada tanggal 3 Januari 1950.
Silsilah keluarganya pun tampak religius, tercermin dari beberapa keluarga
memiliki pesantren di wilayah tersebut. Beliau mengenyam pendidikan hingga
jenjang strata dua di salah satu Universitas Negeri yang ada di Yogyakarta.
Pasca mengenyam pendidikan di Yogyakartra, pada tahun 1970 beliau memutuskan
untuk menetap di Yogyakarta. Di wilayah ini pula beliau menemukan dambaan hati
yang berinisial M. Yang kemudian beliau menikah dan dikaruniai 4 orang anak,
anak pertama berinisial A dengan jenis kelamin laki-laki, kedua berinisial R
dengan jenis kelamin perempuan, anak ketiga berinisial AH dengan jenis kelamin
laki-laki, dan anak terakhir berinisial HA dengan jenis kelamin perempuan.
Dalam mengarungi bahtera
kehidupan, SA mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar di salah satu
Universitas Islam yang berada di Yogyakarta. Step by step beliau
menjalankan pekerjaannya dengan baik, yang pada kesempatannya menghantarkan
beliau menjadi salah satu pejabat kampus yang ada di tempat beliau mengajar.
Saat itu beliau menduduki jabatan sebagai Pembantu Dekan 1 di Fakultas Adab. Yang
selanjutnya beranjak memegang jabatan sebagai Pembantu Dekan 2, hingga akhirnya
beralih menjadi Dekan di fakultas tersebut. Keberadaan beliau terbilang
memiliki peran penting di Fakultas Adab. Namun sebelum masa jabatan berlangsung,
beliau berkecimpung di bidang lainnya, tepatnya di ormas Nahdlatul Ulama’ (NU).
Di ormas tersebut, beliau menduduki jabatan sebagai Rois Suriah NU Kecamatan
Depok pada tahun 1990.
Dalam jabatannya itu,
beliau memiliki program untuk membuat rancangan atau mengembangkan pusat
pendidikan keagamaan (pesantren) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan NU untuk
dapat melaksanakan atau mewujudkan ajaran syariat Islam di dalam masyarakat
untuk mencapai kemaslahatan umat. Guna merealisasikan program itu, beliau
beserta rekan-rekan mulai meninjau lokasi-lokasi yang ada di masyarakat, yang
pada saat itu lokasi peninjauan berada di Kecamatan Depok. Di kecamatan itu telah
berdiri sebuah sekolahan TK, MI, dan MTs Ma’arif yang sedang berada dalam
kondisi mengkhawatirkan, lebih tepatnya hampir gulung tikar. Melihat kondisi
tersebut, beliau dan teman-teman sangat prihatin yang pada akhirnya memutuskan
untuk mengembangkannya dengan merintis sebuah pesantren. Singkat cerita, pada
tahun 1998 mulailah ditata sekolah-sekolah yang telah ada sekaligus meresmikan podok
pesantren, SMK dan panti asuhan. Pendirian tersebut dibantu oleh beberapa tokoh
yang berpengaruh, diantaranya yang berinisial IK, JS, M, AM, dan S. Semasa proses
pendirian pondok pesantren, SMK, dan panti asuhan tidak terlepas dari pro dan
kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat tidak mendukung aktifitas
dari program tersebut karena adanya pondok telah mengganggu tradisi masyarakat
setempat yang erat dengan tradisi ziarah kubur dengan tujuan untuk memohon doa
pada orang yang telah mati, yang kemudian SA berusaha melakukan dialog dengan
masyarakat sekitar dengan cara merubah mindset yang telah berkembang
dimasyarakat mengenai ziarah menjadi mendoakan yang telah mati agar tenang
dialamnya. Dengan cara demikian pada akhirnya perselisihan dapat diatasi dan hingga saat ini tampak damai.
Pondok pesanter yang
ada di wilayah tersebut dikenal dengan pondok pesantren Diponegoro. Yang
membedakan pondok tersebut dengan yang lain diantaranya terkait kepemimpinan
atau kepengurusan dalam pondok tersebut, kepemimpinannya tidak mempertimbangkan
silsilah keluarga pengasuh atau pemimpin pondok secara penuh atau bersifat
turun temurun. Justru dalam pondok ini lebih menekankan kerjasama dengan banyak
pihak. Sehingga kepemimpinan atau kepengurusan pondok tersebut dapat digantikan
oleh siapapun berdasarkan keputusan bersama. Adapun kegiatan dalam pondok
tersebut diantaranya mengaji Al Qur’an yang dilaksanakan setiap pagi,
bersih-bersih, lalu bersekolah, selanjutnya tadarus Al Qur’an, bersih-bersih,
Madrasah Diniyah, dan yang terakhir istirahat. Poin penting yang membedakan
aktivitas pondok ini dengan pondok lainnya adalah kebersihan. Pondok ini sangat
memberikan perhatian khusus terhadap kebersihan lingkungan hingga pondok yang
terbilang masih dini telah menunjukkan
perkembangannya yang signifikan dan mendapatkan penghargaan atas tingkat
kebersihan yang selalu dijaga dalam pondok ini.
Hal tersebut tidak terlepas dari kontribusi
SA. SA dalam hal ini memiliki peran yang sangat besar, selain tingkat
kebersihan yang semakin diperhatikan, beliau juga membuat bangunan pondok
semakin megah dan terjaga. Tutur SA, hal ini beliau lakukan karena pada
dasarnya mindset yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat mengenai
pesantren selayaknya harus diubah yaitu dengan cara-cara yang beliau lakukan
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, diantaranya kepemimpinan yang tidak
harus jatuh kepada keluarga pemimpin pondok. Keberadaan pondok tidak hanya
mengembangkan ilmu kognitif (pengetahuan) semata, tetapi harus tercermin pula
dalam perilakunya baik dari santri maupun dari pemimpin pondok, sehingga
semakin ilmu religi tidak hanya diucap dalam lisan tapi di resapi oleh hati dan
diwujudkan oleh prilaku. Satu hal lagi
kontribusi dari SA yaitu mindset bahwa santri mencari kyai diubah menjadi kyai
menjemput santri, sehingga para remaja atau santri tidak terjerumus pada keyakinan
atau ajaran yang tidak selayaknya ia ikuti atau dengan kata lain sesat,
sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan dalam media-media.
Dari pola pikir SA tersebut pada
ujungnya mempengaruhi pola kinerjanya pula ketika beliau menduduki jabatan sebagai
Dekan di Universitas Islam yang ada di Yogyakarta. Hal ini dapat ditemukan dari
bangunan atau ruang yang ada di fakultas yang ia pimpin, dimana fakultas
tersebut tanpa berbeda dengan fakultas lainnya, fakultas itu tampak nyaman dan
teduh. Selain hal itu juga tercermin pada sikap beliau yang tetap memberikan
hak bagi pihak-pihak lawan saat beliau menjabat sebagai Dekan. Beliau dengan
suka rela memberikan pihak yang menjadi lawan pada saat itu untuk tetap
menlanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi, dalam hal ini penulis tidak akan
menyebutkan salah satu contohnya.
Kembali lagi pada pembahasan
tentang pondok pesantren yang SA gagas, dimana selain keistimewaan pondok yang
telah disinggung di atas, pondok ini juga memiliki keperdulian terhadap dhuafa
seperti yatim piatu dan anak jalanan. Kepeduliannya ini diwujudkan dengan
dibentuknya panti asuhan. Penghuni panti tersebut tidak dipungut biaya seperserpun,
salah satu penghuni dari panti asuhan tersebut dapat kita jumpai disekitar
perempatan jalan Urip Sumoharjo dengan Adi Sucipto yang berinisial UH yang
berpropesi sebagai penjual koran. Lain halnya mengenai pondok pesantren,
penghuni pondok tersebut diwajibkan untuk mengeluarkan biaya sebesar
Rp200.000,-/bulan tiap santri dari jumlah keseluruhan 150 santri. Meskipun
biaya operasional yang diterima pondok cukup kecil dan tidak ada donasi tetap,
namun pesantren tersebut dapat memenuhi kebutuhan dengan cukup baik. Lain
halnya dengan sekolahan yang ada di pondok tersebut, sekolahan itu bersifat
terbuka untuk siapa saja yang ingin meniti pendidikan di sekolah tersebut
dengan diberikan kebebasan untuk memilih santri atau tidak. Namun aktivitas
sekolahan tetap menjunjung tinggi nilai relegius. Hal ini tampak dari kegiatan
sekolahan yang mewajibkan shalat Dhuha setiap hari secara berjamaah dan lain
sebagainya. Selain itu, setiap wali dari siswa atau santri di sekolah tersebut
juga diwajibkan mengaji, konsolidasi antara wali murid dan pesantren, mujahadah
bagi wali murid dan masyarakat setiap malam senin legi dan silaturahim atau
berkunjung ke rumah para pengasuh pesantren. Sekolah di desa ini tampak besar
terlihat dari banyak ruang yang ada dan luas wilayah dengan jumlah siswa-siswi
yang cukup banyak.
Dewasa ini, pasca SA purna bakti (pension) pada tahun 2015 dari hiruk
pikuk universitas, beliau lebih mengabdikan dirinya sebagai pengasuh dari
pondok pesantren Diponegoro. Selain itu juga menjadi motivator pesantren di
wilayah-wilayah tertentu. Hal unik yang ada dalam sosok SA yaitu sebagai mantan
intelektual Universitas, beliau tidak memutuskan untuk menompang eksistensinya
dengan menuangkan ide ide briliannya dalam sebuah tulisan sebagaimana yang
dilakukan oleh pihak-pihak lain, justru beliau memilih melakukan tindakan nyata
ketimbang argumentasi semata. Menurut beliau aksi lebih abadi, baginya
pesantren masa depan karena pesantren tidak membatasi golongan status sosial.
Sementara pekerjaannya yang lalu bagian masa lalu, yang harapannya masa lalunya
tersebut dapat menjadi lebih baik dengan tidak menjadikan sistem pemerintah
sebagai sentiment pribadi semata justru menjadi tugas manusia bersama. Demikian
life study yang penulis dapat paparkan.
B.
Metodologi Penelitian
Dalam life
study ini penulis pertama
kalinya melakukan pengamatan disekitar wilayah penelitian selanjutnya penulis
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara kepada tokoh utama yang
berinesial SA dikediamannya yang berada di lingkungan pesantren Diponogoro.
0 komentar:
Posting Komentar