Jumat, 19 Februari 2016

dialog kehidupan

DIALOG AGAMA DAN BUDAYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN LEMBAGA
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Dialog Lintas Agama dan Budaya
Dosen pengampu Bpk. Ahmad Muttaqin


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


Dialog Agama dan Budaya dalam Kehidupan Sehari-Hari dan Lembaga

A.    Pendahuluan
Dialog ditinjau dari asal usul kata berasal dari kata Yunani, dia yang berarti antara, diantara. Bersama dan legein yang berarti berbicara, bercakap, cakap, bertukar pikiran, dan gagasan. Secara harfiah dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, dan gagasan bersama. Secara substansial dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti , memahami, menerima, hidup damai, dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialog pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran, yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang luas dan mendalam tentang aspek yang menjadi bahan dialog.[1]
Dialog dilakukan tidak hanya berkaitan dengan persoalan secara umum, tetapi juga penting dilakukan dalam konteks agama. Istilah dialog muncul setelah perang Dunia II pada saat itu orang mulai memikirkan masalah dialog. Senjak konsili Vatikan II didekralasikan tahun 1965 pihak Gereja menggiatkan usaha untuk mengembangkan dialog. Hal itu diawali dengan dibukanya sub unit dialog Antaragama di Dewan Gereja-Gereja se-Dunia(DGD). Tahun 1969 dengan mengadakan sidang di Canterbury, Inggris membentuk sebuah komite dan merancang rumusan tentang dialog. Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya dialog secara resmi dilaksanakan di Beirut yaitu Dialogue Between Men of living Faiths yang hasilnya terbentuk tim konsultasi. [2]
Sementara istilah dialog di Indonesia dimulai pada tahun 1969, yang ditandai dengan dialog antarumat Islam dan Kristiani. Pada saat itu dialog antarumat beragama mulai mendapatkan bentuk yang lebih terorganisir dan lebih institusional. Upaya dialog antarumat beragama dilakukan oleh pemerintah terutama pada masa Orde Baru, tidak terlepas dari konteks politik pada masa itu. Sebagaimana indikasi yang ditunjukan pemerintah berupaya mengambil jalan yang tidak berpihak dalam konteks hubungan antarumat beragama. Selain upaya dialog secara resmi dilakukan oleh pemerintah, beberapa lembaga non pemerintah (NGO) berbasis agama dan non agama juga ikut mengambil inesiatif untuk dialog antarumat beragama. Meskipun demikian perlu kita sadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia juga tidak terlepas dari dialog baik dalam skala forman maupun non formal, baik dalam skala kecil maupun besar. Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai bagaiamana pola dialog yang dilakukan dalam dialog yang terlembaga sebagaimana yang telah disebutkan tersebut dengan pola dialog dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penulis bermaksud memaparkan tentang pola dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dialog yang tersistem.  Untuk lebih jelasnya akan diulas dalam pembahasan di bawah ini.
 
B.  Pembahasan
1.      Penyebab Dialog
 Penyebab adanya dialog karena adanya sebuah permasalahan, lebih tepatnya permasalah yang bernuansa agama. Dalam realitanya setiap agama terkandung dua macam kecendrungan ajaran yang tampak saling bertentangan. Pertama, kecendrungan yang mengajarkan bahwa agama yang dianut oleh seseorang adalah agama yang paling benar, mutlak, superior, dan menyelamatkan, sedangkan orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka, dan harus dijahui atau dibujuk agar mengikuti agamanya. Kedua, ajaran setiap orang harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam agama dan dianjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja, bahkan kebaikan ini dianggap sebagai inti dari ajaran setiap agama
Pada hakikatnya menunjukan bahwa ajaran pertama jauh lebih dominan peranannya dan lebih subur perkembangannya dari pada ajaran kedua. Sedangkan kegiatan–kegiatan yang kelihatannya merupakan pengalaman dari ajaran-ajaran cinta kasih, persamaan dan persaudaraan selalu dipersoalakan keiklasannya dan mudah menimbulkan kecurigaan. Bahkan lebih ironis ketika semua agama yang masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi sakral, teryata dalam perjalan sejarahnya sering terlibat skandal hubungan konflik antara satu sama lain. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya  muncul di mana-mana hingga dewasa ini. Sehingga dialog dianggap sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahn tersebut, sebagaimana yang digagas oleng Hans kung dalam bukunya Global Responsibility in Search to a New Word Ethic. [3]

2.      Tujuan Dialog
Pada dasarnya dialog bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dijalankan untuk mencapai tujuan selanjutnya . Namun,  tujuan hidup bersama tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa keterlibatan semua pihak. Dalam cakrawala holistik, partisipasi dan rasa bagi keseluruhan merupakan keutamaan. Dengan demikian dialog merupakan gaya hidup orang beriman dan beragama yang perlu dan harus dijalankan kalau seseorang atau komunitas mau setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah.[4] Adapun tujuan dialog sedikitnya akan menyentuh dua pokok yaitu menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain dan mengarah kepada kerjasama untuk mencegah persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat. Pertama, dialog mengarah kepada suatu pemahaman yang otentik mengenai iman orang lain tanpa sikap untuk meremehkan dan apalagi mendistorsikan keyakinan-keyakinan mulia tersebut. Dalam hubungan ini suatu percakapan yang sungguh-sungguh dialogis bisa merupakan langkah untuk memperoleh mutual enrichment bagi setiap penghayatan iman yang berbeda-beda. Kedua, suatu percakapan dialogis juga merupakan suatu kesempatan untuk menggalang kerjasama antar agama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang nyata di masyarakata. Keprihatinan agama-agama ini akan merupakan suatu kekuatan yang baru bagi kemanusiaan untuk menanggulangi eskalasi persoalan yang formatnya memang bersifat lintas agama. Kemampuan agama-agama secara individu untuk menghadapi persoalan kemanusiaan di zaman modern ini tidak memadai lagi, diperlukan satu bentuk baru dari persekutuan antar agama untuk menghadapinya.
Dengan demikian dialog menjadi suatu harapan bagi kemanusiaan yang bisa ditawarkan oleh agama-agama. Dialog juga bisa mengilhami seluruh kelompok masyarakat untuk saling terbuka dan saling menyumbangkan potensi masing-masing demi membangun kehidupan manusia yang lebih aman, sejahtera dan sentosa.[5]

3.      Dialog dalam Kehidupan Sehari-Hari
Manusia pada dasarnya dilahirkan untuk saling bahu membahu satu sama lain atau lebih dikenal dengan istilah manusia sosial. Manusia sosial dalam kehidupannya akan sering melakukan aktivitas yang melibatkan orang lain. Dalam keterlibatan ini manusia akan membutuhkan media, media ini bertujuan untuk menjembatani diantara kedua belah pihak. Pada hakikatnya media tersebut berupa komunikasi, dalam hal ini komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui alat bantu seperti HP dan lain sebagainya. Dikesempatan ini komunikasi secara langsung dapat berupa dialog. Dialog dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari diakibatkan karena kelompok-kelompok masyarakat biasa yang karena tuntutan kebutuhan hidup (terutama makan ) mengorganisir secara diam-diam untuk berkomunikasi dengan pihak lain diluar komunitasnya, demikian pula dalam kepentingan yang lain. Untuk mengetahui dialog kehidupan sehari-hari penulis menggunakan sempel komunitas ibu-ibu PKK. Sempel ini penulis pilih karena komunitas ibu-ibu lebih banyak melakukan percakapan baik secara disengaja maupun tidak disengaja atau dengan kata lain biang rumpi sehingga menurut hemat saya komunikasi yang lebih aktif terjadi pada ibu-ibu.
Pada kesempatan ini komunitas PKK yang penulis maksud berada di dusun Papringan. Komunitas ini berdiri pada bulan Desember 2010 yang beranggotakan ibu-ibu dari 10 RW. Adapun tingkat ekonomi di dusun ini tergolong menengah kebawah dengan latar profesi sebagai Ibu Rumah Tangga dan buruh, serta jenjeng pendidikan yang sebatas SLTA atau SLTP. Dalam kegiataannya komunitas ini lebih banyak melakukan aksi sosial dengan melakukan pengumpulan dana sosial guna membantu anggota komunitas lain ketika tertimpa musibah. Namun sesekali komunitas ini melakukan kegiatan lain seperti arisan, peringatan hari ibu, syawalan pada hari raya atau saling berkunjung ketika natal atau yang lainnya. Dari hal ini tampak bahwa anggota dari komunitas tersebut tidak hanya berasal dari satu keyakinan, justru dalam komunitas tersebut terdiri dari beragam keyakinanseperti Katolik, Kristen, dan Islam. Dalam aktivitasnya komunitas tersebut tidak menonjolkan simbol keyakinan dari masing-masing keyakinan melainkan satu sama lain saling menghormati tanpa menyudutkan anggota lainnya yang minoritas. Hal ini dapat terjadi karena tujuan dari komunitas tersebut sebagai wadah untuk menyampaikan informasi dari pihak atasan (Kecamatan) kepada masyarakat luas.  Sehingga perselisihan atas nama agama tidak pernah terjadi.
Sebagaimana tutur Ibu Dewi Astuti Istiqomah selaku ketua ibu-ibu PKK bahwa perbedaan agama yang ada di dusun ini tidak menjadi permasalahan justru diantara mereka saling menghormati terlihat pada saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul Fitri pada saat hari raya maka umat  yang lainnya berbondong-bondong menjaga parkir kendaraan bagi masyarakt yang sedang menunaikan ibadah, sebaliknya demikian ketika umat Kristiani sedang merayakan Natal.  Tidak ketinggalan pula diantara mereka ketika hari raya pun saling megunjungi. Adapun simbol-simbol keagamaan yang pasang dirumah masing-masing masyarakat tidak mengganggu aktivitas masyarkat yang lain, misalnya dengan pemasangan pohon cemara ketika natal, menurut beliau berkunjung tidak akan membuat ia pindah keyakinan karena bagi beliau niatnya buat silaturahim bukan ibadah.
Sehingga ketika menyinggung masalah dialog agama dan budaya menurut Ibu Dewi tidak perlu karena baginya masyarakat sudah bisa hidup rukun meski ada beberapa pihak yang fanatik namun hal ini tidak menimbulkan konflik, dengan demikian kehadiran orang ketiga dalam menengarahi dialog agama dan budaya tidak diperlukan juga pula. Adapun dialog yang dilakukan hanya sebatas dialog kehidupan sehari-hari tidak ada hubungannya dengan dialog agama dan budaya. [6]
Di zaman modern dialog antarumat beragama agar tidak sekedar suatu pertukaran informasi akademik tentang berbagai tradisi yang berbeda, dialog harus menerapkan taktik korelasional, seanalogi dengan metode korelasional yang ada dalam teologi Kristen: mitra dialog tidak hanya berbicara tentang tradisi mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi tersebut dapat dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer. Dengan kata lain dialog harus menghubungkan tradisi dengan pengalaman dan dunia ini. Dalam istilah Mark Kliner Taylor disebutkan bahwa ada tiga keyataan dan tuntutan dalam dunia atau disebut dengan trilema yaitu harus setia kepada identitas dan tradisi sendiri, harus benar-benar terbuka terhadap pluralitas tradisi lainnya dan harus menentang dominasi yang merusak dunia. Jadi dalam campuran identitas, pluralitas dan resistensi yang menyusun isi dan dinamika perjumpaan antarumat beragama maka yang diperlukan yaitu mengutamakan resistensi melawan dominasi dan keprihatinan atas penderitaan baik manusiawi maupun ekologi. Dalam hal ini dialog lebih membawa munusia untuk bersikap inkusif sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan menjadi tugas bersama.[7] Sebagaimana yang tercermin dalam dialog yang telah penulis singgung di atas bahwa komunitas Ibu-Ibu PKK tidak menjadikan perbedaan agama sebuah masalah justru perbedaan agama dianggap sebagai media untuk saling menghargai dan menghormati sehingga tercapailah sebuah kerukunan. Menurut hemat saya, dialog antar agama dan budaya pada hakikatnya untuk masyarakat luas yang berada di wilayah yang multireligius tidak perlu digadang-gadangkan karena ketika setiap pribadi manusia telah menanamkan sikap tidak ingin diganggu dan menggangu,  maka ketika ia tidak diganggu, ia tidak akan mengganggu pula dan sebaliknya atau dengan kata lain setiap individu telah menanamkan rasa saling menghormati dengan sendirinya maka kerukunan akan lahir dengan sendirinya.

4.      Dialog dalam Lembaga
Dialog terlembaga kali ini penulis fokuskan pada lembaga Interfidei. Lembaga ini senjak awal berdiri telah berkonsentrasi dalam kegiatan dialog antariman. DIAN/Interfidei, yang didirikan oleh Dr. Th. Sumartana (alm), Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D. (alm), Dr. Daniel Dhakidae, Zulkifly Lubis, dan Dr. Djohan Effendi. Latar belakang historis didirikannya Lembaga ini adalah persoalan kemanusiaan dan banyak terjadi ketidakadilan hukum, Founding Fathers and Mothers merasa terpanggil untuk mendirikan Lembaga Keagamaan ini untuk menyadarkan sikap positif dan kesadaran untuk menjalin kerjasama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan, adanya tantangan politisasi negara terhadap agama-agama serta formalisasi agama oleh institusi agama. Ideologi yang dibangun adalah pemahaman bahwa dengan berdialog antar Iman bisa menciptakan saling pengertian dan menghormati dalam upaya menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia yang multikultural. Interfidei tidak membatasi diri dengan sasaran yang diajak dialog, akan tetapi sebagian besar dialog yang dilakukan dengan sasaran atau audiens dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, mahasiswa, akademisi, aktivis, komunitas based, guru-guru, pemerintah dan masyarakat pada umumnya dan pemerintah dengan harapan bisa berdampak positif bagi masyarakat. Interfidei konsisten mengadakan dialog terbuka bagi siapa saja dan menjadikan Interfidei sebagai pusat dialog. Pada perkembangan konteks zaman yang berubah disadari betul oleh kami di Interfidei secara intern, bahwa pada zaman runtuhnya orde baru, mahasiswa dan pada akademisi begitu haus dengan acara diskusi dan seminar ataupun dialog yang diadakan oleh Interfidei, tanpa bermodal banyak publikasi, peserta dialog banyak yang antusias dan tertarik dengan dialog yang diadakan. Zaman digital ini menjadi tantangan tersendiri dan perubahan orientasi pemikiran serta antusias yang menurun dari mahasiswa kepada diskusi, dialog dan seminar padahal tantangan zaman dan perubahan keagamaan kearah yang radikal dan menjadi tantangan bersama. Interfidei selalu memiliki cara dalam memandang persoalan-persoalan agama di Indonesia mengkritisi dan mengaktualisasikan bagaimana mencari solusi dari persoalan keagamaan. Interfidei juga memberikan pemahaman yang berbeda dari kurikulum yang digunakan, melihat masalah dari insider dan outsider, sehingga dapat membuat anggota yang ada didalalamnya semakin terbuka tentang agama lain. Dasar filosofisnya adalah: Agama-agama merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan religius dalam konteks apapun tidak mungkin dilepaskan dari tanggungjawab untuk memecahkan masalah-masalah sosial-kemanusiaan. Dialog dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai konflik di masyarakat; konflik antar agama, antar golongan, antara agama dan negara, agama dan ideologi.
Kegiatan dialog antariman yang dilakukan Interfidei mengalami beberapa perkembangan dan perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam konteks yang mengalami perubahan dan perkembangan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan Interfidei:
ü  Dinamika pluralisme dalam masyarakat, khususnya agama-agama (intra, antar) dan keyakinan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
ü  Hubungan antara agama dan negara, diantaranya; berdampak pada berbagai kebijakan negara dalam soal-soal sosial keagamaan.
ü  Tantangan global yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini berkaitan dengan media, lingkungan hidup, serta berbagai penyakit sosial: kemiskinan, HIV/AIDS, tenaga kerja dan pendidikan.
ü  Perkembangan jaringan Interfidei pada tingkat nasional dan internasional.
Sejak berdirinya Interfidei merupakan semangat dan kerjasama dengan dialog antar Iman. Prinsip yang mendasar bahwa keyakinan bisa didiskusikan dari pemahaman bersama dan mendalam dalam ruang yang bebas terbuka. Berkaitan dengan dialog. Interfidei terbangun untuk menjembatani misi agama-agama dan tantangan persoalan masyarakat yang dihadapi oleh agama. Selain itu, tujuan yang lain untuk memfasilitasi forum agar pandangan-pandangan terhadap keimanan bisa didialogkan agar dapat menciptakan tanggungjawab sosial bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Dialog dapat dijadikan jalan untuk mencapai makna yang sesungguhnya dari setiap agama dan menghargai perbedaan pemahaman masing-masing agama. Disamping itu, Interfidei juga bertujuan untuk terbuka dalam persamaan dan perbedaan dengan sikap dialog, tanpa paksaan. Untuk mengatasi konflik yang membawa agama, Interfidei bekerjasama dengan jaringan untuk mengadvokasi konflik tersebut dan jika terjadi konflik Interfidei mengadvokasi dengan jaringan ditingkat lokal maupun nasional. [8]
Dengan demikian menurut hemat saya DIAN sebagai NGO yang bergerak dalam dialog maka dialog antar agama dan budaya tentu dianggap sangat penting dalam menumbuhkan kerukunan masyarakat. Namun,  dialog yang  dilakukan sepertinya terjadi ketika konflik mulai bermunculan sementara dalam aplikatif secara nyata belum terlihat wujud pastinya. Dengan demikian ketidakpastian dari suatu lembaga dialog maka akan melahirkan lembaga-lembaga dialog lainnya, yang dalam hal ini hanya akan berlomba-lomba membuat program dialog tanpa memperhatikan siapa yang memerlukan dialog. Dan menurut saya tidak perlu adanya lemabga ketika setiap individu masyarakat telah memiliki sikap saling menghormati dan memahami.

C.    Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa dialog pada mulanya muncul karena dalam setiap agama mengandung dua unsur ajaran yang saling bertentangan sehingga menuntut adanya dialog. Dialog dalam hal ini bertujuan untuk saling terbuka, saling belajar satu sama lain dan saling menghormati. Dalam kehidupan sehari-hari dialog antar agma dan budaya seyogyanya tidak perlu dilakukan karena setiap individu telah menanamkan rasa saling menghormati. Lain halnya dalam dialog lembaga, Interfaith selalu melakukan dialog karena bagian dari tujuannya sehingga dialog antar agama dan budaya dirasa cukup penting dalam menanamkan kerukunan antar umat.

Daftar Pustaka

Banawiratma dkk. Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia. Jakarta: Kerjasama antara Mizan Publika dan CRCS. 2010.

Daya, Burhanuddin.  Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta:LkiS.2004..
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman.Yogyakarta: Teras. 2011.

Sumartana Dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tahun 1.

Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan tanggal 13 Desember 2015.
 Wawancara dengan Resta Tri Widyadara selaku Staff Interfidei di kediamannya Gowok.











[1] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 106-107.

[2] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta:LkiS, 2004) hlm. 24.
[3] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, hlm. 1.

[4] Banawiratma dkk, Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia ( Jakarta: Kerjasama antara Mizan Pub
lika dan CRCS, 2010). Hlm. 13.
[5] Sumartana Dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Tahun 1), hlm. xxiii-xxiv.
[6] Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan tanggal 13 Desember 2015.
[7] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm, 130.
[8] Wawancara dengan Resta Tri Widyadara selaku Staff Interfidei di kediamannya Gowok.

0 komentar:

Posting Komentar