DIALOG AGAMA DAN BUDAYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
DAN LEMBAGA
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata
kuliah
Dialog Lintas Agama dan Budaya
Dosen
pengampu Bpk. Ahmad Muttaqin

Disusun Oleh:
Ita
Fitri Astuti
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
Dialog Agama dan Budaya
dalam Kehidupan Sehari-Hari dan Lembaga
A. Pendahuluan
Dialog ditinjau dari
asal usul kata berasal dari kata Yunani, dia yang berarti antara, diantara.
Bersama dan legein yang berarti berbicara, bercakap, cakap, bertukar pikiran,
dan gagasan. Secara harfiah dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap,
bertukar pikiran, dan gagasan bersama. Secara substansial dialog adalah
percakapan dengan maksud untuk saling mengerti , memahami, menerima, hidup
damai, dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialog
pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta,
pemikiran, gagasan dan pendapat dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami,
dan menerima. Aspek yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam dialog adalah
tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran, yang ada adalah berbagi dan
bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan
terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang luas dan mendalam
tentang aspek yang menjadi bahan dialog.[1]
Dialog dilakukan tidak
hanya berkaitan dengan persoalan secara umum, tetapi juga penting dilakukan
dalam konteks agama. Istilah dialog muncul setelah perang Dunia II pada saat
itu orang mulai memikirkan masalah dialog. Senjak konsili Vatikan II
didekralasikan tahun 1965 pihak Gereja menggiatkan usaha untuk mengembangkan
dialog. Hal itu diawali dengan dibukanya sub unit dialog Antaragama di Dewan
Gereja-Gereja se-Dunia(DGD). Tahun 1969 dengan mengadakan sidang di Canterbury,
Inggris membentuk sebuah komite dan merancang rumusan tentang dialog. Pada
tahun 1970 untuk pertama kalinya dialog secara resmi dilaksanakan di Beirut
yaitu Dialogue Between Men of living Faiths yang hasilnya terbentuk tim
konsultasi. [2]
Sementara istilah
dialog di Indonesia dimulai pada tahun 1969, yang ditandai dengan dialog
antarumat Islam dan Kristiani. Pada saat itu dialog antarumat beragama mulai
mendapatkan bentuk yang lebih terorganisir dan lebih institusional. Upaya
dialog antarumat beragama dilakukan oleh pemerintah terutama pada masa Orde
Baru, tidak terlepas dari konteks politik pada masa itu. Sebagaimana indikasi
yang ditunjukan pemerintah berupaya mengambil jalan yang tidak berpihak dalam
konteks hubungan antarumat beragama. Selain upaya dialog secara resmi dilakukan
oleh pemerintah, beberapa lembaga non pemerintah (NGO) berbasis agama dan non
agama juga ikut mengambil inesiatif untuk dialog antarumat beragama. Meskipun
demikian perlu kita sadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia juga tidak
terlepas dari dialog baik dalam skala forman maupun non formal, baik dalam
skala kecil maupun besar. Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai
bagaiamana pola dialog yang dilakukan dalam dialog yang terlembaga sebagaimana
yang telah disebutkan tersebut dengan pola dialog dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, penulis bermaksud memaparkan tentang pola dialog yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dan dialog yang tersistem. Untuk lebih jelasnya akan diulas dalam
pembahasan di bawah ini.
B. Pembahasan
1. Penyebab Dialog
Penyebab adanya dialog karena adanya sebuah
permasalahan, lebih tepatnya permasalah yang bernuansa agama. Dalam realitanya
setiap agama terkandung dua macam kecendrungan ajaran yang tampak saling
bertentangan. Pertama, kecendrungan yang mengajarkan bahwa agama yang
dianut oleh seseorang adalah agama yang paling benar, mutlak, superior, dan menyelamatkan,
sedangkan orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka, dan harus
dijahui atau dibujuk agar mengikuti agamanya. Kedua, ajaran setiap orang
harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam agama dan dianjurkan berbuat
kebajikan kepada siapa saja, bahkan kebaikan ini dianggap sebagai inti dari
ajaran setiap agama
Pada
hakikatnya menunjukan bahwa ajaran pertama jauh lebih dominan peranannya dan
lebih subur perkembangannya dari pada ajaran kedua. Sedangkan kegiatan–kegiatan
yang kelihatannya merupakan pengalaman dari ajaran-ajaran cinta kasih,
persamaan dan persaudaraan selalu dipersoalakan keiklasannya dan mudah
menimbulkan kecurigaan. Bahkan lebih ironis ketika semua agama yang
masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan
menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi
sakral, teryata dalam perjalan sejarahnya sering terlibat skandal hubungan
konflik antara satu sama lain. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan
bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya
muncul di mana-mana hingga dewasa ini. Sehingga dialog dianggap sebagai
solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahn tersebut, sebagaimana yang
digagas oleng Hans kung dalam bukunya Global Responsibility in Search to a
New Word Ethic. [3]
2. Tujuan Dialog
Pada
dasarnya dialog bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dijalankan
untuk mencapai tujuan selanjutnya . Namun,
tujuan hidup bersama tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa
keterlibatan semua pihak. Dalam cakrawala holistik, partisipasi dan rasa bagi
keseluruhan merupakan keutamaan. Dengan demikian dialog merupakan gaya hidup
orang beriman dan beragama yang perlu dan harus dijalankan kalau seseorang atau
komunitas mau setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah.[4]
Adapun tujuan dialog sedikitnya akan menyentuh dua pokok yaitu menghidupkan
suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain dan mengarah
kepada kerjasama untuk mencegah persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat. Pertama,
dialog mengarah kepada suatu pemahaman yang otentik mengenai iman orang lain
tanpa sikap untuk meremehkan dan apalagi mendistorsikan keyakinan-keyakinan
mulia tersebut. Dalam hubungan ini suatu percakapan yang sungguh-sungguh
dialogis bisa merupakan langkah untuk memperoleh mutual enrichment bagi
setiap penghayatan iman yang berbeda-beda. Kedua, suatu percakapan
dialogis juga merupakan suatu kesempatan untuk menggalang kerjasama antar agama
untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang nyata di masyarakata. Keprihatinan
agama-agama ini akan merupakan suatu kekuatan yang baru bagi kemanusiaan untuk
menanggulangi eskalasi persoalan yang formatnya memang bersifat lintas agama.
Kemampuan agama-agama secara individu untuk menghadapi persoalan kemanusiaan di
zaman modern ini tidak memadai lagi, diperlukan satu bentuk baru dari
persekutuan antar agama untuk menghadapinya.
Dengan
demikian dialog menjadi suatu harapan bagi kemanusiaan yang bisa ditawarkan
oleh agama-agama. Dialog juga bisa mengilhami seluruh kelompok masyarakat untuk
saling terbuka dan saling menyumbangkan potensi masing-masing demi membangun
kehidupan manusia yang lebih aman, sejahtera dan sentosa.[5]
3. Dialog dalam Kehidupan Sehari-Hari
Manusia
pada dasarnya dilahirkan untuk saling bahu membahu satu sama lain atau lebih
dikenal dengan istilah manusia sosial. Manusia sosial dalam kehidupannya akan
sering melakukan aktivitas yang melibatkan orang lain. Dalam keterlibatan ini
manusia akan membutuhkan media, media ini bertujuan untuk menjembatani diantara
kedua belah pihak. Pada hakikatnya media tersebut berupa komunikasi, dalam hal
ini komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui alat bantu seperti
HP dan lain sebagainya. Dikesempatan ini komunikasi secara langsung dapat
berupa dialog. Dialog dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari diakibatkan
karena kelompok-kelompok masyarakat biasa yang karena tuntutan kebutuhan hidup
(terutama makan ) mengorganisir secara diam-diam untuk berkomunikasi dengan
pihak lain diluar komunitasnya, demikian pula dalam kepentingan yang lain.
Untuk mengetahui dialog kehidupan sehari-hari penulis menggunakan sempel
komunitas ibu-ibu PKK. Sempel ini penulis pilih karena komunitas ibu-ibu lebih
banyak melakukan percakapan baik secara disengaja maupun tidak disengaja atau
dengan kata lain biang rumpi sehingga menurut hemat saya komunikasi yang lebih
aktif terjadi pada ibu-ibu.
Pada
kesempatan ini komunitas PKK yang penulis maksud berada di dusun Papringan. Komunitas
ini berdiri pada bulan Desember 2010 yang beranggotakan ibu-ibu dari 10 RW.
Adapun tingkat ekonomi di dusun ini tergolong menengah kebawah dengan latar
profesi sebagai Ibu Rumah Tangga dan buruh, serta jenjeng pendidikan yang
sebatas SLTA atau SLTP. Dalam kegiataannya komunitas ini lebih banyak melakukan
aksi sosial dengan melakukan pengumpulan dana sosial guna membantu anggota
komunitas lain ketika tertimpa musibah. Namun sesekali komunitas ini melakukan
kegiatan lain seperti arisan, peringatan hari ibu, syawalan pada hari raya atau
saling berkunjung ketika natal atau yang lainnya. Dari hal ini tampak bahwa
anggota dari komunitas tersebut tidak hanya berasal dari satu keyakinan, justru
dalam komunitas tersebut terdiri dari beragam keyakinanseperti Katolik,
Kristen, dan Islam. Dalam aktivitasnya komunitas tersebut tidak menonjolkan
simbol keyakinan dari masing-masing keyakinan melainkan satu sama lain saling
menghormati tanpa menyudutkan anggota lainnya yang minoritas. Hal ini dapat
terjadi karena tujuan dari komunitas tersebut sebagai wadah untuk menyampaikan
informasi dari pihak atasan (Kecamatan) kepada masyarakat luas. Sehingga perselisihan atas nama agama tidak
pernah terjadi.
Sebagaimana
tutur Ibu Dewi Astuti Istiqomah selaku ketua ibu-ibu PKK bahwa perbedaan agama
yang ada di dusun ini tidak menjadi permasalahan justru diantara mereka saling
menghormati terlihat pada saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul
Fitri pada saat hari raya maka umat yang
lainnya berbondong-bondong menjaga parkir kendaraan bagi masyarakt yang sedang
menunaikan ibadah, sebaliknya demikian ketika umat Kristiani sedang merayakan
Natal. Tidak ketinggalan pula diantara
mereka ketika hari raya pun saling megunjungi. Adapun simbol-simbol keagamaan
yang pasang dirumah masing-masing masyarakat tidak mengganggu aktivitas
masyarkat yang lain, misalnya dengan pemasangan pohon cemara ketika natal,
menurut beliau berkunjung tidak akan membuat ia pindah keyakinan karena bagi
beliau niatnya buat silaturahim bukan ibadah.
Sehingga
ketika menyinggung masalah dialog agama dan budaya menurut Ibu Dewi tidak perlu
karena baginya masyarakat sudah bisa hidup rukun meski ada beberapa pihak yang
fanatik namun hal ini tidak menimbulkan konflik, dengan demikian kehadiran
orang ketiga dalam menengarahi dialog agama dan budaya tidak diperlukan juga
pula. Adapun dialog yang dilakukan hanya sebatas dialog kehidupan sehari-hari
tidak ada hubungannya dengan dialog agama dan budaya. [6]
Di
zaman modern dialog antarumat beragama agar tidak sekedar suatu pertukaran
informasi akademik tentang berbagai tradisi yang berbeda, dialog harus
menerapkan taktik korelasional, seanalogi dengan metode korelasional yang ada
dalam teologi Kristen: mitra dialog tidak hanya berbicara tentang tradisi
mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi tersebut dapat
dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer. Dengan kata lain
dialog harus menghubungkan tradisi dengan pengalaman dan dunia ini. Dalam
istilah Mark Kliner Taylor disebutkan bahwa ada tiga keyataan dan tuntutan
dalam dunia atau disebut dengan trilema yaitu harus setia kepada identitas dan
tradisi sendiri, harus benar-benar terbuka terhadap pluralitas tradisi lainnya
dan harus menentang dominasi yang merusak dunia. Jadi dalam campuran identitas,
pluralitas dan resistensi yang menyusun isi dan dinamika perjumpaan antarumat
beragama maka yang diperlukan yaitu mengutamakan resistensi melawan dominasi
dan keprihatinan atas penderitaan baik manusiawi maupun ekologi. Dalam hal ini
dialog lebih membawa munusia untuk bersikap inkusif sehingga tujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan menjadi tugas bersama.[7]
Sebagaimana yang tercermin dalam dialog yang telah penulis singgung di atas
bahwa komunitas Ibu-Ibu PKK tidak menjadikan perbedaan agama sebuah masalah
justru perbedaan agama dianggap sebagai media untuk saling menghargai dan
menghormati sehingga tercapailah sebuah kerukunan. Menurut hemat saya, dialog
antar agama dan budaya pada hakikatnya untuk masyarakat luas yang berada di
wilayah yang multireligius tidak perlu digadang-gadangkan karena ketika setiap
pribadi manusia telah menanamkan sikap tidak ingin diganggu dan menggangu, maka ketika ia tidak diganggu, ia tidak akan
mengganggu pula dan sebaliknya atau dengan kata lain setiap individu telah
menanamkan rasa saling menghormati dengan sendirinya maka kerukunan akan lahir
dengan sendirinya.
4. Dialog dalam Lembaga
Dialog
terlembaga kali ini penulis fokuskan pada lembaga Interfidei. Lembaga ini
senjak awal berdiri telah berkonsentrasi dalam kegiatan dialog antariman.
DIAN/Interfidei, yang didirikan oleh Dr. Th. Sumartana
(alm), Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D. (alm), Dr. Daniel Dhakidae, Zulkifly Lubis,
dan Dr. Djohan Effendi. Latar belakang historis didirikannya Lembaga ini adalah
persoalan kemanusiaan dan banyak terjadi ketidakadilan hukum, Founding
Fathers and Mothers merasa terpanggil untuk mendirikan Lembaga Keagamaan
ini untuk menyadarkan sikap positif dan kesadaran untuk menjalin kerjasama
untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan, adanya tantangan politisasi negara terhadap agama-agama
serta formalisasi agama oleh institusi agama. Ideologi yang dibangun adalah
pemahaman bahwa dengan berdialog antar Iman bisa menciptakan saling pengertian
dan menghormati dalam upaya menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia
yang multikultural. Interfidei tidak membatasi diri dengan
sasaran yang diajak dialog, akan tetapi sebagian besar dialog yang dilakukan
dengan sasaran atau audiens dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi,
mahasiswa, akademisi, aktivis, komunitas based, guru-guru, pemerintah dan
masyarakat pada umumnya dan pemerintah dengan harapan bisa berdampak positif
bagi masyarakat. Interfidei konsisten mengadakan dialog terbuka bagi siapa saja
dan menjadikan Interfidei sebagai pusat dialog. Pada perkembangan konteks zaman
yang berubah disadari betul oleh kami di Interfidei secara intern, bahwa pada
zaman runtuhnya orde baru, mahasiswa dan pada akademisi begitu haus dengan
acara diskusi dan seminar ataupun dialog yang diadakan oleh Interfidei, tanpa
bermodal banyak publikasi, peserta dialog banyak yang antusias dan tertarik
dengan dialog yang diadakan. Zaman digital ini menjadi tantangan tersendiri dan
perubahan orientasi pemikiran serta antusias yang menurun dari mahasiswa kepada
diskusi, dialog dan seminar padahal tantangan zaman dan perubahan keagamaan
kearah yang radikal dan menjadi tantangan bersama. Interfidei selalu memiliki cara dalam
memandang persoalan-persoalan agama di Indonesia mengkritisi dan
mengaktualisasikan bagaimana mencari solusi dari persoalan keagamaan.
Interfidei juga memberikan pemahaman yang berbeda dari kurikulum yang
digunakan, melihat masalah dari insider dan outsider, sehingga dapat membuat
anggota yang ada didalalamnya semakin terbuka tentang agama lain. Dasar
filosofisnya adalah: Agama-agama merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Kehidupan religius dalam konteks apapun tidak mungkin dilepaskan dari
tanggungjawab untuk memecahkan masalah-masalah sosial-kemanusiaan.
Dialog dianggap sebagai jalan keluar dari
berbagai konflik di masyarakat; konflik antar agama, antar golongan, antara
agama dan negara, agama dan ideologi.
Kegiatan
dialog antariman yang dilakukan Interfidei mengalami beberapa perkembangan dan
perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam konteks yang mengalami
perubahan dan perkembangan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi perubahan dan
perkembangan Interfidei:
ü Dinamika
pluralisme dalam masyarakat, khususnya agama-agama (intra, antar) dan keyakinan
di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
ü Hubungan
antara agama dan negara, diantaranya; berdampak pada berbagai kebijakan negara
dalam soal-soal sosial keagamaan.
ü Tantangan
global yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini berkaitan dengan media,
lingkungan hidup, serta berbagai penyakit sosial: kemiskinan, HIV/AIDS, tenaga
kerja dan pendidikan.
ü Perkembangan
jaringan Interfidei pada tingkat nasional dan internasional.
Sejak berdirinya Interfidei merupakan
semangat dan kerjasama dengan dialog antar Iman. Prinsip yang mendasar bahwa
keyakinan bisa didiskusikan dari pemahaman bersama dan mendalam dalam ruang
yang bebas terbuka. Berkaitan dengan dialog. Interfidei terbangun untuk
menjembatani misi agama-agama dan tantangan persoalan masyarakat yang dihadapi
oleh agama. Selain itu, tujuan yang lain untuk memfasilitasi forum agar
pandangan-pandangan terhadap keimanan bisa didialogkan agar dapat menciptakan
tanggungjawab sosial bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Dialog dapat
dijadikan jalan untuk mencapai makna yang sesungguhnya dari setiap agama dan
menghargai perbedaan pemahaman masing-masing agama. Disamping itu, Interfidei
juga bertujuan untuk terbuka dalam persamaan dan perbedaan dengan sikap dialog,
tanpa paksaan. Untuk mengatasi konflik yang membawa agama, Interfidei
bekerjasama dengan jaringan untuk mengadvokasi konflik tersebut dan jika
terjadi konflik Interfidei mengadvokasi dengan jaringan ditingkat lokal maupun
nasional. [8]
Dengan demikian menurut hemat saya DIAN
sebagai NGO yang bergerak dalam dialog maka dialog antar agama dan budaya tentu
dianggap sangat penting dalam menumbuhkan kerukunan masyarakat. Namun, dialog yang
dilakukan sepertinya terjadi ketika konflik mulai bermunculan sementara
dalam aplikatif secara nyata belum terlihat wujud pastinya. Dengan demikian
ketidakpastian dari suatu lembaga dialog maka akan melahirkan lembaga-lembaga
dialog lainnya, yang dalam hal ini hanya akan berlomba-lomba membuat program
dialog tanpa memperhatikan siapa yang memerlukan dialog. Dan menurut saya tidak
perlu adanya lemabga ketika setiap individu masyarakat telah memiliki sikap saling
menghormati dan memahami.
C.
Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa dialog pada mulanya muncul karena dalam setiap agama mengandung
dua unsur ajaran yang saling bertentangan sehingga menuntut adanya dialog.
Dialog dalam hal ini bertujuan untuk saling terbuka, saling belajar satu sama
lain dan saling menghormati. Dalam kehidupan sehari-hari dialog antar agma dan
budaya seyogyanya tidak perlu dilakukan karena setiap individu telah menanamkan
rasa saling menghormati. Lain halnya dalam dialog lembaga, Interfaith selalu
melakukan dialog karena bagian dari tujuannya sehingga dialog antar agama dan
budaya dirasa cukup penting dalam menanamkan kerukunan antar umat.
Daftar
Pustaka
Banawiratma
dkk. Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia.
Jakarta: Kerjasama antara Mizan Publika dan CRCS. 2010.
Daya,
Burhanuddin. Agama Dialogis: Meredam
Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta:LkiS.2004..
Knitter,
Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Naim,
Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman.Yogyakarta:
Teras. 2011.
Sumartana Dkk, Dialog: Kritik dan
Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tahun 1.
Wawancara
dengan Ibu Dwi Astuti Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan
tanggal 13 Desember 2015.
Wawancara dengan Resta Tri Widyadara selaku
Staff Interfidei di kediamannya Gowok.
[1] Ngainun Naim, Teologi
Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011),
hlm. 106-107.
[2] Burhanuddin Daya, Agama
Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta:LkiS,
2004) hlm. 24.
[3] Burhanuddin Daya, Agama
Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, hlm.
1.
[4] Banawiratma dkk, Dialog
Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia ( Jakarta: Kerjasama
antara Mizan Pub
lika dan CRCS, 2010). Hlm. 13.
[5] Sumartana Dkk, Dialog: Kritik
dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Tahun 1), hlm.
xxiii-xxiv.
[6] Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti
Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan tanggal 13 Desember 2015.
[7] Paul F. Knitter, Satu Bumi
Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), hlm, 130.
[8] Wawancara dengan Resta Tri
Widyadara selaku Staff Interfidei di kediamannya Gowok.
0 komentar:
Posting Komentar