HASRAT KUASA DALAM
KONFLIK MUHAMMADIYAH DAN PKS DI YOGYAKARTA PRESPEKTIF HANNAH ARENDT
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata
kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen
pengampu Bpk. Mutiullah

Disusun Oleh:
Ita
Fitri Astuti
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
Hasrat Kuasa dalam
Konflik Muhammadiyah dan PKS di Yogyakarta Prespektif Hannah Arendt
A.
Pendahuluan
Indonesia merupakan
Negara yang multikuktural dan multireligion. Berbicara tentang multikulturan
dan multireligion kita akan menjumpai keanekaragam budaya dan agama yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja diantara beraneka ragam budaya dan
agama, yang menjadi keistimewaan Indonesia yaitu ketika masyarakat Indonesia
lebih banyak didominasi penduduk yang beragama Islam yang dalam kehidupan antar
masyarakatnya bisa saling hidup berdampingan.
Akan tetapi, dibalik keistimewaan tersebut juga tersirat kondisi yang
mengkhawatirkan, dalam posisi tertentu antara masyarakat beragama tersebut pula
dapat terjadi pertentangan atau konflik.
Dari potret masyarakat
konflik yang sering terjadi khususnya di Indonesia yaitu konflik yang
bernafaskan keagamaan dan politik. Ketika mengupas tentang konflik yang
bernapas keagamaan tidak jarang terjadi akibat pemahaman masyarakat beragama
terkait ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama itu sendiri sedangkan konflik
yang bernapaskan politik tidak jarang dipicu akibat perebutan kekuasaan.
Dikesempatan ini penulis akan menyoroti konflik yang terjadi antara
Muhammadiyah dan PKS terutama di daerah Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui
bahwa Muhammadiyah merupakan sebuah
organisasi massa sementara PKS merupakan organisasi politik. Muhammadiyah
berkembang pesan di wilayah Yogyakarta hingga keberbagai lapisan masyarakat,
sedangkan keberadaan PKS tidak terlepas dari peranan Partai Keadilan yang tidak
kalah pesat berkembang di Yogyakarta. Kedua subjek tersebut sama-sama
berkhitmat dibidang keagamaan, hanya saja keberadaan sering tampak tidak
sejalan baik itu berasal dari isu-isu negatif yang muncul di masyarakat baik
mengenai perbedaan pemahaman nilai-nilai agama maupun hal lainnya. Dari
permasalahan di atas kemudian penulis mencoba menguraikannya berdasarkan
prespektif Hannah Arendt. Sebagaimana
pemaparan di bawah ini.
B.
Pembahasan
1.
Sekilas
tentang Muhammadiyah dan PKS
No
|
Topik
|
Muhammadiyah
|
PKS
|
1.
|
Pengertian
|
Muhammadiyah
adalah Organisasi massa keagamaan Islam
|
PKS
adalah Organisasi politik yang berbasis Islam
|
2.
|
Awal
berdiri
|
Didirikan
oleh Kyai Ahmad Dahlan pada 18
November 1912 ( 8 Zulhijah 1330 H ) di Yogyakarta
|
Berdiri
pada 20 Juli 1998 dengan nama awal PK (partai Keadilan) dalam konferensi pres di Aula Masjid al-Azhar
,Kebayoran Baru, Jakarta. Yang dipelopori oleh Helmi Aminuddin
|
3.
|
Latarbe-lakang
|
Secara
Internal ada 2
Secara
eksternal
|
adanya
upaya gerakan Tarbiyyah Ikhwanul Muslimin Indonesia yang ikut berpartisipasi
dalam politik yang kemudian bermetamorfosis akibat minim pendukung.
|
4.
|
Tujuan
|
Agar
masyarakat dapat beragama sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw yang jauh dengan praktik
ibadah yang beraroma TBC (Takhayul, Bidah, Khufarat) serta dapat tercerahkan secara spiritual
dan intelektual.[1]
|
Tegaknya
Syariat Islam dalam wadah NKRI
|
5.
|
Sejarah
|
Sejarah
Muhammadiyah cukup panjang dimulai senjak masa kolonial Belanda hingga
berakhirnya masa Orba (1912-1998), hal ini dapat dipetakan menjadi 4 periode
orientasi di bawah ini:
Maksudnya strategi
besar yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah kultur tetapi ruang gerak
orientasinya lebih pada bidang keagamaan
Maksudnya organisasi
ini mengadopsi strategi politis/struktural sebagai strategi dasarnya baik
dengan mengindahkan ataupun menafikan strategi kultural sebagai basis
strategi awalnya
Yaitu dengan kembali
menggunakan strategi dasar cultural namun orientasi ruang geraknya lebih
menjangkau bidang sosial kemasyarakatan
Yaitu tetap bertumpu
pada strategi kultural tetapi ada kecendrungan berorientasi politik dalam ruang
geraknya.[2]
|
|
2.
Pemicu
Konflik Muhammadiyah Vs PKS di Yogyakarta
Berdasarkan pendapat
Munir Mulkhan dalam karyanya yang berjudul “Muhammadiyah dan PKS memancing
Ikan dalam Kolam yang Sama”, memaparkan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah
dan PKS tidak terlepas dari kesamaan yang muncul dalam dua subjek tersebut.
Dalam hal ini ada enam kesamaan karakter antara Muhammadiyah dan PKS. Pertama
muslim perkotaan, maksudnya Muhammadiyah dan PKS sama-sama tumbuh dalam
masyarakat kota. Kedua ibadah amaliah, maksudnya Muhammadiyah dan PKS
yang berada di wilayah Yogyakarta sama-sama tidak melakukan TBC. Ketiga
gerakan sosial maksudnya Muhammadiyah dan PKS sama-sama konsen dalam kegiatan
sosial terbukti dengan adanya sekolahan dan masjid yang dimiliki dua subjek
tersebut.. Keempat masyarakat terpenting. Kelima anggota yang
militan dan yang keenam berebut ruang publik. Aspek yang terakhir ini
banyak memicu konflik diantara kedua subjek tersebut karena keduanya tidak
jarang satu sama lain saling memperebutkan wilayah kegiatan sosial.
Dalam hal ini dapat
penulis contohkan dari peristiwa yang terjadi ketika perebutan masjid
Al-Muttaqun di Prambanan pada tahun 2006. Kasus ini melibatkan sosok Hidayat
Nurwahid seorang tokoh PKS yang merupakan aktivis Muhammadiyah. Dalam peristiwa
ini diawali ketika elit PKS menyediakan posko gempa di deket masjid Al-Muttaqun
pada saat Yogyakarta dilanda bencana gempa bumi. Posko yang didirikan sebagai
posko kemanusiaan lama-kelamaan menjadi tempat rekrumen kader PKS melalui
aktivitas keagamaan seperti mabit (malam bina iman dan takwa) dan liqo. Dengan
semakin banyaknya kegiataan PKS yang dilakukan di masjid tersebut, pada
akhirnya PKS dapat menguasai masjid tersebut dan pengelolahannya dialihkan
menjadi Yayasan Al-Muttaqun, dengan Hidayat Nurwahid sebagai dewan pembinanya. Selain
itu juga muncul perebutan bidang pendidikan yaitu TK Aisyiyah Muhammadiyah yang
ada di Prambanan hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu yang didukung oleh
Hidayat Nurwahid selaku dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Center
sekaligus Mantan Presiden PKS yang sebelumnya sebagai aktivis Muhammadiyah .
Namun,karena pihak PWM Jateng melakukan perlawan keras atas rencana Yayasan
Islamic Center karena TK Aisyiyah telah berdiri senjak 20 tahun akhirnya TK
Aisyiyah masih tetap bertahan hingga saat ini. Segala upaya PKS dalam merebut
kekuasaan Muhammadiyah hingga sekarang semakin meluas terlihat dari ideology
PKS yang berkembang di kampus-kampus Muhammadiyah baik yang digawangi oleh para
dosen maupun mahasiswa itu sendiri.[4]
Peristiwa ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS
lebih terlihat dalam ruang publik.
3.
Riwayat
Hidup Hannah Arendt
Hannah Arendt adalah
filsuf wanita yang lahir di Linden, dekat Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906
dari pasangan Paul dan Martha Arendt. Arendt dibesarkan dalam keluarga Yahudi
Jerman yang terdidik dan relatif liberal. Masa kecil Arendt banyak diwarnai
oleh dukacita, teror, dan ketidakbahagiaan. Dia dan keluarganya menjadi sasaran
dan target genocide Nazi sehingga Arendt tidak dapat mengapresiasikan
masa kanak-kanaknya. Ia kehilangan ayah saat usianya baru menginjak tujuh tahun
dan tidak lama berselang ia harus menelan keyataan pahit, ketika ibunya
memutuskan untuk menikah kembali dengan Martin Beerward yang memiliki dua
putri. Tindakan yang diambil ibunya menambah nestapa bagi Arendt.
Perjalanan pendidikan
Arendt dimulai pada tahun 1924, saat itu ia memulai studi teologinya di bawah
asuhan Rudolf Bultmann di Universitas Marburg. Di Universitas itu pula Arendt
bertemu dan berguru bahkan berselingkuh dengan Martin Heidegger. Hubungan
mereka kandas ketika Arendt melanjutkan studinya di Universitas Heidelberg. Di
Universitas inilah Arendt berguru dengan Karl Jaspers seorang filsuf
eksistensial hingga akhirnya Arendt dapat menyelesaikan disertasinya tentang
konsep cinta dalam pemikiran St.Agustinus dan berhasil meraih gelar doktor pada
tahun 1929 diusia belianya, 22 tahun. Di tahun ini pula Arent menikah dengan
Gunther Stern.
Pada tahun-tahun selanjutnya
Arendt melanjutkan keterlibatannya dalam politik Yahudi dan Zionis yang telah
dimulainya sejak tahun 1926. Ditahun 1933 karena terancam oleh teror Nazi ia
melarikan diri ke Paris, tempat ia bertemu dengan Walter Benjamin dan Raymon
Aron. Di tahun 1936, Arendt bertemu Heinrich Blucher seorang pelarian politik
Jerman. Lagi-lagi ia terlibat perselingkuhan, yang pada akhirnya Arendt
menceraikan Stern dan menikah dengan Blucher. Setelah itu Arendt dan
keluarganya kembali melarikan diri ke Amerika Serikat setelah Perang Dunia II serta
penjeblosan besar-besaran orang-orang
Yahudi ke dalam kamp. Hingga pada
akhirnya Arendt meninggal pada tanggal 4 Desember 1975.
Semasa hidupnya Hannah
Arendt tidak saja menjadi salah satu filsuf controversial karena romantika masa
lalunya melainkan juga seorang pemikir orisinal dan paling menantang abad ke-20
karena pemikiran-pemikirannya yang terus relevan bagi filsafat sampai abad
ke-21. Arend juga merupakan pemikir yang produktif yang banyak menghasilkan
buah pemikiran diantaranya The Origins of Totalitarianism (Asal-usul
Totalitarianisme) (1951), The Human Condition (Kondisi Manusia)
(1958), Rahel Varnhagen: The Life of a Jewish Woman (Kehidupan seorang
Perempuan Yahudi) (1958), dan lain sebagainya.[5]
4. Pemikiran Hannah Arendt
Berdasarkan analisis
penulis salah satu faktor yang mempengaruhi pemikiran Hannah Arendt yaitu
peristiwa yang terjadi dimasa hidupnya yang didominasi oleh kekerasan dan
obsolutisme kekuasaan . Saat itu terjadi konflik perebutan kekuasaan
antara Prancis dan Jerman pada PD 1
dengan ditandai atas kekalahan bangsa Jerman yang berujung dengan politik balas
dendam. Jerman berupaya melakukan balas dendam terhadap Prancis dan
kronik-kroniknya (seperti Yahudi) dengan mengusung Hittler sebagai seorang
pemimpin yang perkasa dan mampu membalas dendam. Salah satu orientasi
perjuangan yang diusung Hitter adalah dengan melakukan pembantaian terhadap
etnis Yahudi (bolocaust). Hitter dan rezim Nazi juga menegaskan visinya sebagai Ein Reich,
Ein Volk, Ein Fuerher (Satu Negara, Satu Bangsa, Satu Pemimpin), visi
tersebut menggambarkan bahwa Negara memiliki otoritas yang total (totaliter),
bangsa Jerman ditakdirkan untuk superior terhadap bangsa atau ras lainnya, dan
seluruh kekuasaan berada di tangan satu pemimpin yaitu Hitter. Totalitarisme
yang di emban Hitler dan Nazi menjadi senjata yang meruntuhkan sistem demoktasi
yang lebih akomodatif dan tidak menghargai kedaulatan rakyat. Dari peristiwa
tersebut kemudian Hannah Arendt mencetuskan pikiran-pikiran kritisnya. [6]
Secara Spesifik Arendt
menggagas tentang teori tindakan. Berbicara tentang teori Tindakan
berarti memasuki ruang sentral pemikiran
politik Arendt. Benang merah tindakan sebagai sesuatu yang inheren dalam diri
setiap individu terletak pada reprensentasi dari vita active (kehidupan
aktif ) dan realisasi dari wujud fundamental manusia sebagaimana yang terdapat pada bukun
Arendt human Condition yaitu
kerja, karya, dan tindakan.
Kerja
merupakan aktivitas yang berkaitan dengan kondisi hidup manusia, kerja bagian
dari tuntutan agar manusia bisa hidup. Sebagaimana yang ia tulis to labor mean to be enslaved by necessity, and this enslavement
was inherent in the conditions of human life (bekerja adalah perbudakan
demi kebutuhan hidup dan perbudakan ini melekat dalam kondisi-kondisi kehidupan
manusia) atau istilah yang digunakan arendt
dengan merujuk Aristoteles ialah animal laborans (binatang
pekerja). Karya berkaitan dengan kondisi keduniawian, melalui karya manusia menghasilkan objek dan dapat
menguasai alam seta membebaskan diri dari ketertundukan pada binatang sehingga
manusia disebut homo faber (manusia yang menciptakan). Tindakan
adalah aktivitas yang berkaitan dengan kondisi pluralitas. Tindakan juga
sebagai aktivitas manusia yang bersifat politis karena lewat keduanya manusia
berhubungan dengan yang lain. [7]
Ketiga aktivitas
tersebut memiliki nilai penting bagi kesempurnaan hidup manusia yang
memposisikannnya secara dikotomis dengan makhluk lainnya. Hanya saja kerja dan
karya tidak membutuhkan korelasi yang khusus dengan orang lain karena orientasi
kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis oleh karenanya lebih berurusan
dengan individu ada kehadiran orang lain bukan merupakan karakter pluralitas.
Mental yang didominan adalah mental konsumtif. Sementara lewat karya manusia
membutuhkan ruang publik yang hanya berfungsi instrumental atau pasar.
Sebagaimana yang dilakukan Hitler dan Nazi, mereka berupaya menjadikan
rakyatnya berpijak pada animal laborans (binatang bekerja) yang melulu
kerja tetapi tidak memikirkan nasib sesama yang ada disekitarnya. Sementara
dalam wilayah politik apabila politik diidentikkan dengan kerja maka politik
akan dijadikan objek konsumsi. Alhasil mudah terlibat KKN dan melakukan segala
hal untuk mencapai tujuannya termasuk kekerasan.
Dengan demikian Arendt
lebih berkonsentrasi pada konsepsi tentang tindakan yang memiliki korelasi
spesifik-dialektis dengan intensionalitas politik. Arendt menekankan tindakan sebagai simbol
utama karakter manusia dan jaringan relasi antarmanusia disokong oleh interaksi
komunikatif. Dua unsur utama teori tindakan politik Arendt adalah kebebasan
dan pluralitas yang termaktub dalam ruang publik dan privat, ucapan,
tindakan, penyingkapan, dan kekuasaan.
Pertama, Kebebasan
Kebebasan menurut
Arendt adalah kapasitas untuk memulai, mengawali sesuatu yang baru, tindakan
tak terduga, yang diberikan kepada manusia senjak dilahirkan. Hal ini bertolah
dari fakta kelahiran manusia sebagai kondisi bagi kemungkinan munculnya
kebaruan. Inisiatif para praktisi politik semestinya mampu melahirkan sesuatu
yang baru yang dapat membawa keuntungan
bagi publik. Oleh karena itu, tindakan harus ditampilkan dalam konteks
publik. Tindakan merupakan realisasi dari kebebasan. Kebebasan memiliki
implikasi sosial. Dalam hal ini kebebasan selalu berhubungan dengan tindakan
individu yang melakukan relasi atau kontak dengan orang lain. Kebebasan tidak
terisolasi dari orang lain. Oleh karena itu tindakan setiap orang perlu
berbasiskan kesadaran dan tanggung jawab personal terhadap orang lain. Dalam
konteks ini ruang publik diidentikan dengan ruang kebebasan seperti kebebasan
sosial politik, kebebasan pers, kebebasan berfikir atau beropini serta
kebebasan berkumpul. Kebebasan bukan merupakan sesuatu yang tak terbatas
melainkan kebebasan dalam situasi tertentu dan pada hakikatnya terbatas.
Kendatipun terbatas, ruang kebebasan memungkinkan public terlibat aktif dalam
situasi tertentu. Dalam hal ini, publik tidak lagi berada pada posisi
terpenjara tetapi senantiasa memberikan keleluasan untuk mengapresiasikan apa
yang menjadi kehendak bersama untuk kebaikan bersama.
Kedua, pluralitas
Gagasan-gagasan publik
yang ada dalam diri individu harus ditampakkan ke dalam ruang pluralitas.
Tindakan yang diakui dan dirasakan oleh publik bisa dijadikan sebagai parameter
permanensi tertentu yang bisa diwariskan kepada generasi kemudian. Dengan
adanya pluralitas maka akan ada ruang perbedaan dan persamaan hak dari setiap
individu yang melakukan interaksi dalam komunitas publik. Perbedaan tersebut
akan mendorong tindakan dan ucapan sebagai upaya untuk memahami diri mereka
sendiri. Ucapan sangat membantu untuk merealisasikan apa yang menjadi makna
tindakan. Ucapan juga menjelaskan maksud dan tujuan yang eksplisit dan
mengartikulasikan makna tindakan yang menjadi basis intensionalitas keberadaan
di tengah kebersamaan dengan yang lain. Tindakan tanpa ucapan akan menjadi tak
berarti sehingga tidak bisa selaras dengan tindakan orang lain dan ucapan tanpa
tindakan akan kehilangan makna yang seharusnya dikonfirmasi kepada pembicara.
Hal ini yang akhirnya hanya mengandalkan pada kekerasan. Arendt mengatakan
kekerasan adalah komunikasi bisu par excellence. Dalam hal ini politik
bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan privat melainkan mewujudkan
kepentingan publik. Apabila banyak politus mencari ruang privat untuk mencapai
kemapan dan kekayaan yang mengabaikan kepentingan politik public maka tindakan
yang muncul yaitu primordialisme, sektarianisme, dan pragmatism. Perlu
digarisbawai bahwa yang privat bukan dasar dari yang publik. Politik adalah
sebuah dunia yang memiliki nilai dan tujuannya sendiri yang direalisasikan
melalui tindakan dan penilaian publik.
Dalam hal ini dapat
diartikan bahwa ruang publik akan menjadi terorganisir dengan baik kalau ada
penghargaan terhadap kebebasan dan pluralitas. Kebebasan dan pluralitas
merupakan bagian inheren politik yang mesti diraih oleh semua orang. Dalam hal
ini tujuan politik bukan untuk kepuasan dan kepentingan pribadi tetapi lebih
kepada kepentingan bersama.[8]
4. Konflik Muhammadiyah dan PKS dalam
Prespektif Hannah Arendt
Dewasa ini keberadaan
Hannah Arendt lebih dikenal dengan teori kekuasaan meski teori tersebut
berangkat dari teori tindakan sebagaimana yang dijelaskan diatas. Hakikat
politik menurut Arendt adalah ruang komunikasi dalam Negara, dalam hal ini
kekuasaan berfungsi sebagai dialog. Ia menegaskan bahwa politik adalah hubungan
setara antara individu-individu yang bebas untuk saling berkomunikasi, Arendt
menolak argument dari Weber yang berasumsi bahwa politik adalah upaya untuk
memanipulasi, memerintah dan membohongi orang lain. Dengan kata lain politik
hanyalah sebagai wadah untuk memperkaya diri atau untuk mementingkan masalah
pribadi sehingga yang terjadi Korupsi dan lain lain-lain, sebagaimana yang
telah dijelaskan pada pembahasan yang sebelumnya dimana kondisi tersebut
diibaratkan dengan istilah “kerja” yang pada realitanya tergambar dalam
kepemerintahan yang terjadi pada masa Hitter. Aredt menggambarkan
kepemerintahan Hitter hanya digunakan untuk kepentingan pribadi Hitler sehingga
yang terjadi hpemanfaatan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Dalam hal
ini Arendt menegaskan bahwa setiap politik yang mengisolasi masyarakat maka
benih-benih kekerasanlah yang akan lahir. Dari hal tersebut Arend menawarkan sebuah
solusi atas konflik bahwa ruang public adalah kondisi nyaman yang semua
warga bisa menentukan nasibnya dengan cara dialog dan komunikasi. Dengan
demikian benang merah yang dapat penulis paparkan berdasarkan konflik
Muhammadiyah dan PKS yaitu ruang publik yang mulai dialih fungsikan sebagai bentuk kekuasaan
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sebagai mana yang dilakukan PKS
ketika melakukan perebutan masjid milik Muhammadiyah sehingga yang muncul
adalah konflik, seharusnya Muhammadiyah dan PKS dapat menciptakan ruang publik
untuk berkomunikasi saling berdiskusi
dan menciptakan kenyamanan. Sehingga konflik antar kedua elit tersebut dapat
dihindari.
C.
Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas
dapat penulis simpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS
dipengaruhi oleh faktor politik, namun tidak selama faktor tersebut menjadi
faktor tunggal penyebab konflik. Dalam prespektif Hannah Arendt konfik yang
terjadi antara Muhamamadiyah dan PKS dapat diidentifikasi karena adanya ruang
publik yang tidak menimbulkan hubungan setara antara individu–individu untuk
saling berkomunikasi sehingga menimbulkan sebuah konflik. Yang perlu ditekankan
pada kesempatan ini yaitu konflik akan bisa diminimalisir ketika ruang publik
bisa dibanggun dengan keterbukaan satu sama lain atau dalam teori Hannah Arendt
disebutkan dengan istilah komunikasi.
Daftar Pustaka
Fahik,
Gustri. Hannah Arendt tentang Penilaian dan Ruang Publik dalam buku VOX
seri 55/02-04/2011. Flores. NTT.
Jemali,
Lian. Konsepsi Hannah Arendt Tentang Tindakan Politik dalam buku VOX
seri 51/03-04/2006. Flores.NTT.
Suwarno.
Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik
Muhammadiyah Periode 1995-1998. Yogyakarta: UUI Press. 2002.
Dikutip
dari Ari Nur Azizah dan Maarif Jamuin. Konflik
Politik PKS dan Muhammadiyah dalam PDF Jurnal Tasdida vo.10 No. 2. Desember
2012.
Qodir,
Zuly. HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia.
Yogyakarta: JKsg dan Pustaka Pelajar. 2013.
[1] Suwarno, Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi
tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998
(Yogyakarta: UUI Press, 2002), hlm 1-5.
[2]
Suwarno, Muhammadiyah
sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode
1995-1998, hlm. 20-21.
[3] Zuly Qodir, HTI dan PKS
Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia (Yogyakarta: JKsg
dan Pustaka Pelajar, 2013). hlm 127-130.
[4] Dikutip dari Ari Nur Azizah dan Maarif Jamuin, Konflik
Politik PKS dan Muhammadiyah dalam PDF Jurnal Tasdida vo.10 No. 2. Desember
2012. Hlm 219-220.
[5] Gustri Fahik, Hannah Arendt
tentang Penilaian dan Ruang Publik dalam buku VOX seri 55/02-04/2011,
Flores, NTT. Hlm. 35-36.
[6] Lian Jemali, Konsepsi Hannah
Arendt Tentang Tindakan Politik dalam buku VOX seri 51/03-04/2006, Flores,
NTT. Hlm.132-133.
[7] Gustri Fahik, Hannah Arendt tentang Penilaian dan
Ruang Publik dalam buku VOX seri 55/02-04/2011, Flores, NTT hlm. 37-38.
[8] Lian Jemali, Konsepsi Hannah Arendt Tentang
Tindakan Politik dalam buku VOX seri 51/03-04/2006, Flores, NTT. Hlm.139-143
0 komentar:
Posting Komentar