Jumat, 19 Februari 2016

hasrat kuasa dalam konflik Muhammadiyah dan PKS di Yogyakarta prespektif Hannah Arendt


HASRAT KUASA DALAM KONFLIK MUHAMMADIYAH DAN PKS DI YOGYAKARTA PRESPEKTIF HANNAH ARENDT
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen pengampu Bpk. Mutiullah


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


Hasrat Kuasa dalam Konflik Muhammadiyah dan PKS di Yogyakarta Prespektif Hannah Arendt

A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang multikuktural dan multireligion. Berbicara tentang multikulturan dan multireligion kita akan menjumpai keanekaragam budaya dan agama yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja diantara beraneka ragam budaya dan agama, yang menjadi keistimewaan Indonesia yaitu ketika masyarakat Indonesia lebih banyak didominasi penduduk yang beragama Islam yang dalam kehidupan antar masyarakatnya bisa saling hidup berdampingan.  Akan tetapi, dibalik keistimewaan tersebut juga tersirat kondisi yang mengkhawatirkan, dalam posisi tertentu antara masyarakat beragama tersebut pula dapat terjadi pertentangan atau konflik.
Dari potret masyarakat konflik yang sering terjadi khususnya di Indonesia yaitu konflik yang bernafaskan keagamaan dan politik. Ketika mengupas tentang konflik yang bernapas keagamaan tidak jarang terjadi akibat pemahaman masyarakat beragama terkait ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama itu sendiri sedangkan konflik yang bernapaskan politik tidak jarang dipicu akibat perebutan kekuasaan. Dikesempatan ini penulis akan menyoroti konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS terutama di daerah Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui bahwa Muhammadiyah  merupakan sebuah organisasi massa sementara PKS merupakan organisasi politik. Muhammadiyah berkembang pesan di wilayah Yogyakarta hingga keberbagai lapisan masyarakat, sedangkan keberadaan PKS tidak terlepas dari peranan Partai Keadilan yang tidak kalah pesat berkembang di Yogyakarta. Kedua subjek tersebut sama-sama berkhitmat dibidang keagamaan, hanya saja keberadaan sering tampak tidak sejalan baik itu berasal dari isu-isu negatif yang muncul di masyarakat baik mengenai perbedaan pemahaman nilai-nilai agama maupun hal lainnya. Dari permasalahan di atas kemudian penulis mencoba menguraikannya berdasarkan prespektif  Hannah Arendt. Sebagaimana pemaparan di bawah ini.





B.        Pembahasan
1.      Sekilas tentang Muhammadiyah dan PKS
No
Topik
Muhammadiyah
PKS
1.
Pengertian
Muhammadiyah adalah Organisasi  massa keagamaan Islam
PKS adalah Organisasi politik yang berbasis Islam
2.
Awal berdiri
Didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan  pada 18 November 1912 ( 8 Zulhijah 1330 H ) di Yogyakarta
Berdiri pada 20 Juli 1998 dengan nama awal PK (partai Keadilan) dalam  konferensi pres di Aula Masjid al-Azhar ,Kebayoran Baru, Jakarta. Yang dipelopori oleh Helmi Aminuddin
3.
Latarbe-lakang
Secara Internal ada 2
  1. Melepaskan umat Islam dari kungkungan takhayul, bidah dan khufarat
  2. Memajukan pendidikan umat Islam dengan memberikan angkatan mudanya ilmu-ilmu Barat dalam rangka merebut kebahagiaan keduniaan yang juga harus dikejar umat Islam.
Secara eksternal
  1. Sebagai reaksi atas aktivitas missionaries Kristen (Missi Khatolik dan Zending Protestan), terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta
adanya upaya gerakan Tarbiyyah Ikhwanul Muslimin Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam politik yang kemudian bermetamorfosis akibat minim pendukung.

4.
 Tujuan
Agar masyarakat dapat beragama sesuai dengan tuntunan  Nabi Muhammad saw yang jauh dengan praktik ibadah yang beraroma TBC (Takhayul, Bidah, Khufarat)  serta dapat tercerahkan secara spiritual dan intelektual.[1]
Tegaknya Syariat Islam dalam wadah NKRI
5.
Sejarah
Sejarah Muhammadiyah cukup panjang dimulai senjak masa kolonial Belanda hingga berakhirnya masa Orba (1912-1998), hal ini dapat dipetakan menjadi 4 periode orientasi di bawah ini:
  1. Orientasi Religius-kultural (1912-1937).
Maksudnya strategi besar yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah kultur tetapi ruang gerak orientasinya lebih pada bidang keagamaan
  1. Orientasi Politis/ Struktural (1937-1971).
Maksudnya organisasi ini mengadopsi strategi politis/struktural sebagai strategi dasarnya baik dengan mengindahkan ataupun menafikan strategi kultural sebagai basis strategi awalnya 
  1. Orientasi Sosial-Kultural (1971-1995).
Yaitu dengan kembali menggunakan strategi dasar cultural namun orientasi ruang geraknya lebih menjangkau bidang sosial kemasyarakatan
  1.  Orientasi Politik-Kultural (1995-1998).
Yaitu tetap bertumpu pada strategi kultural tetapi ada kecendrungan berorientasi politik dalam ruang geraknya.[2]   
  1. Berawal dari gerakan tarbiyah yang lebih berfokus sebagai gerakan dakwah pada 1980-an di era Orde Baru
  2. Akibat dari penguasa Orba yang melakukan hambatan terhadap aktivitas  Islam politik , pada tahun 1967 Soeripto (anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis /GMsos) bergabung dengan Kodam Siliwangi sebagai kader militer Sukarela dan di bawah pembinaan Kharis Shuhud
  3. Pada tahun 1984 muncul kubu Helmi Aminuddin bin Danu Muhammad Hamsah yang melahirkan gerakan IM (ikhwanul Muslim) di Indonesia hingga tahun 1998 ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi dengan menjadi salah satu kontestan. Saat itu IM mengubah bentuk menjadi Partai Keadilah (PK), kemudian bermetaforfosis menjadi PKS (partai Keadilan Sejahtera) karena pemilu 1999 tidak lolos dalam memperoleh suara partai di parlemen[3]



2.      Pemicu Konflik Muhammadiyah Vs PKS di Yogyakarta
Berdasarkan pendapat Munir Mulkhan dalam karyanya yang berjudul “Muhammadiyah dan PKS memancing Ikan dalam Kolam yang Sama”,  memaparkan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS tidak terlepas dari kesamaan yang muncul dalam dua subjek tersebut. Dalam hal ini ada enam kesamaan karakter antara Muhammadiyah dan PKS. Pertama muslim perkotaan, maksudnya Muhammadiyah dan PKS sama-sama tumbuh dalam masyarakat kota. Kedua ibadah amaliah, maksudnya Muhammadiyah dan PKS yang berada di wilayah Yogyakarta sama-sama tidak melakukan TBC. Ketiga gerakan sosial maksudnya Muhammadiyah dan PKS sama-sama konsen dalam kegiatan sosial terbukti dengan adanya sekolahan dan masjid yang dimiliki dua subjek tersebut.. Keempat masyarakat terpenting. Kelima anggota yang militan dan yang keenam berebut ruang publik. Aspek yang terakhir ini banyak memicu konflik diantara kedua subjek tersebut karena keduanya tidak jarang satu sama lain saling memperebutkan wilayah kegiatan sosial.
Dalam hal ini dapat penulis contohkan dari peristiwa yang terjadi ketika perebutan masjid Al-Muttaqun di Prambanan pada tahun 2006. Kasus ini melibatkan sosok Hidayat Nurwahid seorang tokoh PKS yang merupakan aktivis Muhammadiyah. Dalam peristiwa ini diawali ketika elit PKS menyediakan posko gempa di deket masjid Al-Muttaqun pada saat Yogyakarta dilanda bencana gempa bumi. Posko yang didirikan sebagai posko kemanusiaan lama-kelamaan menjadi tempat rekrumen kader PKS melalui aktivitas keagamaan seperti mabit (malam bina iman dan takwa) dan liqo. Dengan semakin banyaknya kegiataan PKS yang dilakukan di masjid tersebut, pada akhirnya PKS dapat menguasai masjid tersebut dan pengelolahannya dialihkan menjadi Yayasan Al-Muttaqun, dengan Hidayat Nurwahid sebagai dewan pembinanya. Selain itu juga muncul perebutan bidang pendidikan yaitu TK Aisyiyah Muhammadiyah yang ada di Prambanan hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu yang didukung oleh Hidayat Nurwahid selaku dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Center sekaligus Mantan Presiden PKS yang sebelumnya sebagai aktivis Muhammadiyah . Namun,karena pihak PWM Jateng melakukan perlawan keras atas rencana Yayasan Islamic Center karena TK Aisyiyah telah berdiri senjak 20 tahun akhirnya TK Aisyiyah masih tetap bertahan hingga saat ini. Segala upaya PKS dalam merebut kekuasaan Muhammadiyah hingga sekarang semakin meluas terlihat dari ideology PKS yang berkembang di kampus-kampus Muhammadiyah baik yang digawangi oleh para dosen maupun mahasiswa itu sendiri.[4] Peristiwa ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS lebih terlihat dalam ruang publik.

3.      Riwayat Hidup Hannah Arendt
Hannah Arendt adalah filsuf wanita yang lahir di Linden, dekat Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906 dari pasangan Paul dan Martha Arendt. Arendt dibesarkan dalam keluarga Yahudi Jerman yang terdidik dan relatif liberal. Masa kecil Arendt banyak diwarnai oleh dukacita, teror, dan ketidakbahagiaan. Dia dan keluarganya menjadi sasaran dan target genocide Nazi sehingga Arendt tidak dapat mengapresiasikan masa kanak-kanaknya. Ia kehilangan ayah saat usianya baru menginjak tujuh tahun dan tidak lama berselang ia harus menelan keyataan pahit, ketika ibunya memutuskan untuk menikah kembali dengan Martin Beerward yang memiliki dua putri. Tindakan yang diambil ibunya menambah nestapa bagi Arendt.
Perjalanan pendidikan Arendt dimulai pada tahun 1924, saat itu ia memulai studi teologinya di bawah asuhan Rudolf Bultmann di Universitas Marburg. Di Universitas itu pula Arendt bertemu dan berguru bahkan berselingkuh dengan Martin Heidegger. Hubungan mereka kandas ketika Arendt melanjutkan studinya di Universitas Heidelberg. Di Universitas inilah Arendt berguru dengan Karl Jaspers seorang filsuf eksistensial hingga akhirnya Arendt dapat menyelesaikan disertasinya tentang konsep cinta dalam pemikiran St.Agustinus dan berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1929 diusia belianya, 22 tahun. Di tahun ini pula Arent menikah dengan Gunther Stern.
Pada tahun-tahun selanjutnya Arendt melanjutkan keterlibatannya dalam politik Yahudi dan Zionis yang telah dimulainya sejak tahun 1926. Ditahun 1933 karena terancam oleh teror Nazi ia melarikan diri ke Paris, tempat ia bertemu dengan Walter Benjamin dan Raymon Aron. Di tahun 1936, Arendt bertemu Heinrich Blucher seorang pelarian politik Jerman. Lagi-lagi ia terlibat perselingkuhan, yang pada akhirnya Arendt menceraikan Stern dan menikah dengan Blucher. Setelah itu Arendt dan keluarganya kembali melarikan diri ke Amerika Serikat  setelah Perang Dunia II serta penjeblosan  besar-besaran orang-orang Yahudi ke dalam kamp.  Hingga pada akhirnya Arendt meninggal pada tanggal 4 Desember 1975.
Semasa hidupnya Hannah Arendt tidak saja menjadi salah satu filsuf controversial karena romantika masa lalunya melainkan juga seorang pemikir orisinal dan paling menantang abad ke-20 karena pemikiran-pemikirannya yang terus relevan bagi filsafat sampai abad ke-21. Arend juga merupakan pemikir yang produktif yang banyak menghasilkan buah pemikiran diantaranya The Origins of Totalitarianism (Asal-usul Totalitarianisme) (1951), The Human Condition (Kondisi Manusia) (1958), Rahel Varnhagen: The Life of a Jewish Woman (Kehidupan seorang Perempuan Yahudi) (1958), dan lain sebagainya.[5]

4.      Pemikiran Hannah Arendt
Berdasarkan analisis penulis salah satu faktor yang mempengaruhi pemikiran Hannah Arendt yaitu peristiwa yang terjadi dimasa hidupnya yang didominasi oleh kekerasan dan obsolutisme kekuasaan . Saat itu terjadi konflik perebutan kekuasaan antara  Prancis dan Jerman pada PD 1 dengan ditandai atas kekalahan bangsa Jerman yang berujung dengan politik balas dendam. Jerman berupaya melakukan balas dendam terhadap Prancis dan kronik-kroniknya (seperti Yahudi) dengan mengusung Hittler sebagai seorang pemimpin yang perkasa dan mampu membalas dendam. Salah satu orientasi perjuangan yang diusung Hitter adalah dengan melakukan pembantaian terhadap etnis Yahudi (bolocaust). Hitter dan rezim Nazi  juga menegaskan visinya sebagai Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuerher (Satu Negara, Satu Bangsa, Satu Pemimpin), visi tersebut menggambarkan bahwa Negara memiliki otoritas yang total (totaliter), bangsa Jerman ditakdirkan untuk superior terhadap bangsa atau ras lainnya, dan seluruh kekuasaan berada di tangan satu pemimpin yaitu Hitter. Totalitarisme yang di emban Hitler dan Nazi menjadi senjata yang meruntuhkan sistem demoktasi yang lebih akomodatif dan tidak menghargai kedaulatan rakyat. Dari peristiwa tersebut kemudian Hannah Arendt mencetuskan pikiran-pikiran kritisnya. [6]
Secara Spesifik Arendt menggagas tentang teori tindakan. Berbicara tentang teori Tindakan berarti memasuki ruang sentral  pemikiran politik Arendt. Benang merah tindakan sebagai sesuatu yang inheren dalam diri setiap individu terletak pada reprensentasi dari vita active (kehidupan aktif ) dan realisasi dari wujud fundamental manusia  sebagaimana yang terdapat pada bukun Arendt  human Condition yaitu kerja, karya, dan tindakan.
Kerja merupakan aktivitas yang berkaitan dengan kondisi hidup manusia, kerja bagian dari tuntutan agar manusia bisa hidup. Sebagaimana yang ia tulis  to labor mean to be  enslaved by necessity, and this enslavement was inherent in the conditions of human life (bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup dan perbudakan ini melekat dalam kondisi-kondisi kehidupan manusia) atau istilah yang digunakan arendt  dengan merujuk Aristoteles ialah animal laborans (binatang pekerja). Karya berkaitan dengan kondisi keduniawian, melalui karya  manusia menghasilkan objek dan dapat menguasai alam seta membebaskan diri dari ketertundukan pada binatang sehingga manusia disebut homo faber (manusia yang menciptakan). Tindakan adalah aktivitas yang berkaitan dengan kondisi pluralitas. Tindakan juga sebagai aktivitas manusia yang bersifat politis karena lewat keduanya manusia berhubungan dengan yang lain. [7]
Ketiga aktivitas tersebut memiliki nilai penting bagi kesempurnaan hidup manusia yang memposisikannnya secara dikotomis dengan makhluk lainnya. Hanya saja kerja dan karya tidak membutuhkan korelasi yang khusus dengan orang lain karena orientasi kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis oleh karenanya lebih berurusan dengan individu ada kehadiran orang lain bukan merupakan karakter pluralitas. Mental yang didominan adalah mental konsumtif. Sementara lewat karya manusia membutuhkan ruang publik yang hanya berfungsi instrumental atau pasar. Sebagaimana yang dilakukan Hitler dan Nazi, mereka berupaya menjadikan rakyatnya berpijak pada animal laborans (binatang bekerja) yang melulu kerja tetapi tidak memikirkan nasib sesama yang ada disekitarnya. Sementara dalam wilayah politik apabila politik diidentikkan dengan kerja maka politik akan dijadikan objek konsumsi. Alhasil mudah terlibat KKN dan melakukan segala hal untuk mencapai tujuannya termasuk kekerasan.       
Dengan demikian Arendt lebih berkonsentrasi pada konsepsi tentang tindakan yang memiliki korelasi spesifik-dialektis dengan intensionalitas politik.  Arendt menekankan tindakan sebagai simbol utama karakter manusia dan jaringan relasi antarmanusia disokong oleh interaksi komunikatif. Dua unsur utama teori tindakan politik Arendt adalah kebebasan dan pluralitas yang termaktub dalam ruang publik dan privat, ucapan, tindakan, penyingkapan, dan kekuasaan.
Pertama, Kebebasan
Kebebasan menurut Arendt adalah kapasitas untuk memulai, mengawali sesuatu yang baru, tindakan tak terduga, yang diberikan kepada manusia senjak dilahirkan. Hal ini bertolah dari fakta kelahiran manusia sebagai kondisi bagi kemungkinan munculnya kebaruan. Inisiatif para praktisi politik semestinya mampu melahirkan sesuatu yang baru yang dapat membawa keuntungan  bagi publik. Oleh karena itu, tindakan harus ditampilkan dalam konteks publik. Tindakan merupakan realisasi dari kebebasan. Kebebasan memiliki implikasi sosial. Dalam hal ini kebebasan selalu berhubungan dengan tindakan individu yang melakukan relasi atau kontak dengan orang lain. Kebebasan tidak terisolasi dari orang lain. Oleh karena itu tindakan setiap orang perlu berbasiskan kesadaran dan tanggung jawab personal terhadap orang lain. Dalam konteks ini ruang publik diidentikan dengan ruang kebebasan seperti kebebasan sosial politik, kebebasan pers, kebebasan berfikir atau beropini serta kebebasan berkumpul. Kebebasan bukan merupakan sesuatu yang tak terbatas melainkan kebebasan dalam situasi tertentu dan pada hakikatnya terbatas. Kendatipun terbatas, ruang kebebasan memungkinkan public terlibat aktif dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, publik tidak lagi berada pada posisi terpenjara tetapi senantiasa memberikan keleluasan untuk mengapresiasikan apa yang menjadi kehendak bersama untuk kebaikan bersama.
Kedua, pluralitas
Gagasan-gagasan publik yang ada dalam diri individu harus ditampakkan ke dalam ruang pluralitas. Tindakan yang diakui dan dirasakan oleh publik bisa dijadikan sebagai parameter permanensi tertentu yang bisa diwariskan kepada generasi kemudian. Dengan adanya pluralitas maka akan ada ruang perbedaan dan persamaan hak dari setiap individu yang melakukan interaksi dalam komunitas publik. Perbedaan tersebut akan mendorong tindakan dan ucapan sebagai upaya untuk memahami diri mereka sendiri. Ucapan sangat membantu untuk merealisasikan apa yang menjadi makna tindakan. Ucapan juga menjelaskan maksud dan tujuan yang eksplisit dan mengartikulasikan makna tindakan yang menjadi basis intensionalitas keberadaan di tengah kebersamaan dengan yang lain. Tindakan tanpa ucapan akan menjadi tak berarti sehingga tidak bisa selaras dengan tindakan orang lain dan ucapan tanpa tindakan akan kehilangan makna yang seharusnya dikonfirmasi kepada pembicara. Hal ini yang akhirnya hanya mengandalkan pada kekerasan. Arendt mengatakan kekerasan adalah komunikasi bisu par excellence. Dalam hal ini politik bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan privat melainkan mewujudkan kepentingan publik. Apabila banyak politus mencari ruang privat untuk mencapai kemapan dan kekayaan yang mengabaikan kepentingan politik public maka tindakan yang muncul yaitu primordialisme, sektarianisme, dan pragmatism. Perlu digarisbawai bahwa yang privat bukan dasar dari yang publik. Politik adalah sebuah dunia yang memiliki nilai dan tujuannya sendiri yang direalisasikan melalui tindakan dan penilaian publik.
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa ruang publik akan menjadi terorganisir dengan baik kalau ada penghargaan terhadap kebebasan dan pluralitas. Kebebasan dan pluralitas merupakan bagian inheren politik yang mesti diraih oleh semua orang. Dalam hal ini tujuan politik bukan untuk kepuasan dan kepentingan pribadi tetapi lebih kepada kepentingan bersama.[8]

4. Konflik Muhammadiyah dan PKS dalam Prespektif Hannah Arendt
Dewasa ini keberadaan Hannah Arendt lebih dikenal dengan teori kekuasaan meski teori tersebut berangkat dari teori tindakan sebagaimana yang dijelaskan diatas. Hakikat politik menurut Arendt adalah ruang komunikasi dalam Negara, dalam hal ini kekuasaan berfungsi sebagai dialog. Ia menegaskan bahwa politik adalah hubungan setara antara individu-individu yang bebas untuk saling berkomunikasi, Arendt menolak argument dari Weber yang berasumsi bahwa politik adalah upaya untuk memanipulasi, memerintah dan membohongi orang lain. Dengan kata lain politik hanyalah sebagai wadah untuk memperkaya diri atau untuk mementingkan masalah pribadi sehingga yang terjadi Korupsi dan lain lain-lain, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan yang sebelumnya dimana kondisi tersebut diibaratkan dengan istilah “kerja” yang pada realitanya tergambar dalam kepemerintahan yang terjadi pada masa Hitter. Aredt menggambarkan kepemerintahan Hitter hanya digunakan untuk kepentingan pribadi Hitler sehingga yang terjadi hpemanfaatan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Dalam hal ini Arendt menegaskan bahwa setiap politik yang mengisolasi masyarakat maka benih-benih kekerasanlah yang akan lahir. Dari hal tersebut Arend menawarkan sebuah solusi atas konflik bahwa ruang public adalah kondisi nyaman yang semua warga bisa menentukan nasibnya dengan cara dialog dan komunikasi. Dengan demikian benang merah yang dapat penulis paparkan berdasarkan konflik Muhammadiyah dan PKS yaitu ruang publik yang mulai  dialih fungsikan sebagai bentuk kekuasaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sebagai mana yang dilakukan PKS ketika melakukan perebutan masjid milik Muhammadiyah sehingga yang muncul adalah konflik, seharusnya Muhammadiyah dan PKS dapat menciptakan ruang publik untuk berkomunikasi saling  berdiskusi dan menciptakan kenyamanan. Sehingga konflik antar kedua elit tersebut dapat dihindari.

C.    Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan PKS dipengaruhi oleh faktor politik, namun tidak selama faktor tersebut menjadi faktor tunggal penyebab konflik. Dalam prespektif Hannah Arendt konfik yang terjadi antara Muhamamadiyah dan PKS dapat diidentifikasi karena adanya ruang publik yang tidak menimbulkan hubungan setara antara individu–individu untuk saling berkomunikasi sehingga menimbulkan sebuah konflik. Yang perlu ditekankan pada kesempatan ini yaitu konflik akan bisa diminimalisir ketika ruang publik bisa dibanggun dengan keterbukaan satu sama lain atau dalam teori Hannah Arendt disebutkan dengan istilah komunikasi.   

Daftar Pustaka

Fahik, Gustri. Hannah Arendt tentang Penilaian dan Ruang Publik dalam buku VOX seri 55/02-04/2011. Flores. NTT.

Jemali, Lian. Konsepsi Hannah Arendt Tentang Tindakan Politik dalam buku VOX seri 51/03-04/2006. Flores.NTT.

Suwarno. Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998. Yogyakarta: UUI Press. 2002.

Dikutip dari  Ari Nur Azizah dan Maarif Jamuin. Konflik Politik PKS dan Muhammadiyah dalam PDF Jurnal Tasdida vo.10 No. 2. Desember 2012.

Qodir, Zuly. HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia. Yogyakarta: JKsg dan Pustaka Pelajar. 2013.



[1] Suwarno, Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998 (Yogyakarta: UUI Press, 2002), hlm 1-5.
[2] Suwarno, Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998, hlm. 20-21.

[3] Zuly Qodir, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia (Yogyakarta: JKsg dan Pustaka Pelajar, 2013). hlm 127-130.
[4] Dikutip dari  Ari Nur Azizah dan Maarif Jamuin, Konflik Politik PKS dan Muhammadiyah dalam PDF Jurnal Tasdida vo.10 No. 2. Desember 2012. Hlm 219-220.
[5] Gustri Fahik, Hannah Arendt tentang Penilaian dan Ruang Publik dalam buku VOX seri 55/02-04/2011, Flores, NTT. Hlm. 35-36.

[6] Lian Jemali, Konsepsi Hannah Arendt Tentang Tindakan Politik dalam buku VOX seri 51/03-04/2006, Flores, NTT. Hlm.132-133.

[7] Gustri Fahik, Hannah Arendt tentang Penilaian dan Ruang Publik dalam buku VOX seri 55/02-04/2011, Flores, NTT hlm. 37-38.
[8] Lian Jemali, Konsepsi Hannah Arendt Tentang Tindakan Politik dalam buku VOX seri 51/03-04/2006, Flores, NTT. Hlm.139-143

0 komentar:

Posting Komentar