This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 19 Februari 2016

kyai


SEPAKTERJANG SANG KYAI
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kulbeliauh
Metodologi Penelitian Agama
Dosen pengampu Dr. Moh. Soehadha


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


A.    Hasil Penelitian
Di suatu desa tepatnya di desa Sembigo Maguwoharjo Kecematan Depok Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta berdiri sebuah pesantren yang bernama Pondok pesantren Pangeran Diponegoro. Pesantren ini berada di tengah-tengah rumah warga. Adapun salah satu sosok yang berperan dalam mendirikan pesantren tersebut berinis beliaul SA. SA dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang religius. Beliau lahir di lingkungan religius, tepatnya di daerah Blitar pada tanggal 3 Januari 1950. Silsilah keluarganya pun tampak religius, tercermin dari beberapa keluarga memiliki pesantren di wilayah tersebut. Beliau mengenyam pendidikan hingga jenjang strata dua di salah satu Universitas Negeri yang ada di Yogyakarta. Pasca mengenyam pendidikan di Yogyakartra, pada tahun 1970 beliau memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Di wilayah ini pula beliau menemukan dambaan hati yang berinisial M. Yang kemudian beliau menikah dan dikaruniai 4 orang anak, anak pertama berinisial A dengan jenis kelamin laki-laki, kedua berinisial R dengan jenis kelamin perempuan, anak ketiga berinisial AH dengan jenis kelamin laki-laki, dan anak terakhir berinisial HA dengan jenis kelamin perempuan.
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, SA mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang pengajar di salah satu Universitas Islam yang berada di Yogyakarta. Step by step beliau menjalankan pekerjaannya dengan baik, yang pada kesempatannya menghantarkan beliau menjadi salah satu pejabat kampus yang ada di tempat beliau mengajar. Saat itu beliau menduduki jabatan sebagai Pembantu Dekan 1 di Fakultas Adab. Yang selanjutnya beranjak memegang jabatan sebagai Pembantu Dekan 2, hingga akhirnya beralih menjadi Dekan di fakultas tersebut. Keberadaan beliau terbilang memiliki peran penting di Fakultas Adab. Namun sebelum masa jabatan berlangsung, beliau berkecimpung di bidang lainnya, tepatnya di ormas Nahdlatul Ulama’ (NU). Di ormas tersebut, beliau menduduki jabatan sebagai Rois Suriah NU Kecamatan Depok pada tahun 1990.
Dalam jabatannya itu, beliau memiliki program untuk membuat rancangan atau mengembangkan pusat pendidikan keagamaan (pesantren) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan NU untuk dapat melaksanakan atau mewujudkan ajaran syariat Islam di dalam masyarakat untuk mencapai kemaslahatan umat. Guna merealisasikan program itu, beliau beserta rekan-rekan mulai meninjau lokasi-lokasi yang ada di masyarakat, yang pada saat itu lokasi peninjauan berada di Kecamatan Depok. Di kecamatan itu telah berdiri sebuah sekolahan TK, MI, dan MTs Ma’arif yang sedang berada dalam kondisi mengkhawatirkan, lebih tepatnya hampir gulung tikar. Melihat kondisi tersebut, beliau dan teman-teman sangat prihatin yang pada akhirnya memutuskan untuk mengembangkannya dengan merintis sebuah pesantren. Singkat cerita, pada tahun 1998 mulailah ditata sekolah-sekolah yang telah ada sekaligus meresmikan podok pesantren, SMK dan panti asuhan. Pendirian tersebut dibantu oleh beberapa tokoh yang berpengaruh, diantaranya yang berinisial IK, JS, M, AM, dan S. Semasa proses pendirian pondok pesantren, SMK, dan panti asuhan tidak terlepas dari pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat tidak mendukung aktifitas dari program tersebut karena adanya pondok telah mengganggu tradisi masyarakat setempat yang erat dengan tradisi ziarah kubur dengan tujuan untuk memohon doa pada orang yang telah mati, yang kemudian SA berusaha melakukan dialog dengan masyarakat sekitar dengan cara merubah mindset yang telah berkembang dimasyarakat mengenai ziarah menjadi mendoakan yang telah mati agar tenang dialamnya. Dengan cara demikian pada akhirnya perselisihan dapat diatasi dan  hingga saat ini tampak damai.
Pondok pesanter yang ada di wilayah tersebut dikenal dengan pondok pesantren Diponegoro. Yang membedakan pondok tersebut dengan yang lain diantaranya terkait kepemimpinan atau kepengurusan dalam pondok tersebut, kepemimpinannya tidak mempertimbangkan silsilah keluarga pengasuh atau pemimpin pondok secara penuh atau bersifat turun temurun. Justru dalam pondok ini lebih menekankan kerjasama dengan banyak pihak. Sehingga kepemimpinan atau kepengurusan pondok tersebut dapat digantikan oleh siapapun berdasarkan keputusan bersama. Adapun kegiatan dalam pondok tersebut diantaranya mengaji Al Qur’an yang dilaksanakan setiap pagi, bersih-bersih, lalu bersekolah, selanjutnya tadarus Al Qur’an, bersih-bersih, Madrasah Diniyah, dan yang terakhir istirahat. Poin penting yang membedakan aktivitas pondok ini dengan pondok lainnya adalah kebersihan. Pondok ini sangat memberikan perhatian khusus terhadap kebersihan lingkungan hingga pondok yang terbilang masih dini  telah menunjukkan perkembangannya yang signifikan dan mendapatkan penghargaan atas tingkat kebersihan yang selalu dijaga dalam pondok ini.
 Hal tersebut tidak terlepas dari kontribusi SA. SA dalam hal ini memiliki peran yang sangat besar, selain tingkat kebersihan yang semakin diperhatikan, beliau juga membuat bangunan pondok semakin megah dan terjaga. Tutur SA, hal ini beliau lakukan karena pada dasarnya mindset yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat mengenai pesantren selayaknya harus diubah yaitu dengan cara-cara yang beliau lakukan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, diantaranya kepemimpinan yang tidak harus jatuh kepada keluarga pemimpin pondok. Keberadaan pondok tidak hanya mengembangkan ilmu kognitif (pengetahuan) semata, tetapi harus tercermin pula dalam perilakunya baik dari santri maupun dari pemimpin pondok, sehingga semakin ilmu religi tidak hanya diucap dalam lisan tapi di resapi oleh hati dan diwujudkan oleh prilaku.  Satu hal lagi kontribusi dari SA yaitu mindset bahwa santri mencari kyai diubah menjadi kyai menjemput santri, sehingga para remaja atau santri tidak terjerumus pada keyakinan atau ajaran yang tidak selayaknya ia ikuti atau dengan kata lain sesat, sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan dalam media-media.
 Dari pola pikir SA tersebut pada ujungnya mempengaruhi pola kinerjanya pula ketika beliau menduduki jabatan sebagai Dekan di Universitas Islam yang ada di Yogyakarta. Hal ini dapat ditemukan dari bangunan atau ruang yang ada di fakultas yang ia pimpin, dimana fakultas tersebut tanpa berbeda dengan fakultas lainnya, fakultas itu tampak nyaman dan teduh. Selain hal itu juga tercermin pada sikap beliau yang tetap memberikan hak bagi pihak-pihak lawan saat beliau menjabat sebagai Dekan. Beliau dengan suka rela memberikan pihak yang menjadi lawan pada saat itu untuk tetap menlanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi, dalam hal ini penulis tidak akan menyebutkan salah satu contohnya.
 Kembali lagi pada pembahasan tentang pondok pesantren yang SA gagas, dimana selain keistimewaan pondok yang telah disinggung di atas, pondok ini juga memiliki keperdulian terhadap dhuafa seperti yatim piatu dan anak jalanan. Kepeduliannya ini diwujudkan dengan dibentuknya panti asuhan. Penghuni panti tersebut tidak dipungut biaya seperserpun, salah satu penghuni dari panti asuhan tersebut dapat kita jumpai disekitar perempatan jalan Urip Sumoharjo dengan Adi Sucipto yang berinisial UH yang berpropesi sebagai penjual koran. Lain halnya mengenai pondok pesantren, penghuni pondok tersebut diwajibkan untuk mengeluarkan biaya sebesar Rp200.000,-/bulan tiap santri dari jumlah keseluruhan 150 santri. Meskipun biaya operasional yang diterima pondok cukup kecil dan tidak ada donasi tetap, namun pesantren tersebut dapat memenuhi kebutuhan dengan cukup baik. Lain halnya dengan sekolahan yang ada di pondok tersebut, sekolahan itu bersifat terbuka untuk siapa saja yang ingin meniti pendidikan di sekolah tersebut dengan diberikan kebebasan untuk memilih santri atau tidak. Namun aktivitas sekolahan tetap menjunjung tinggi nilai relegius. Hal ini tampak dari kegiatan sekolahan yang mewajibkan shalat Dhuha setiap hari secara berjamaah dan lain sebagainya. Selain itu, setiap wali dari siswa atau santri di sekolah tersebut juga diwajibkan mengaji, konsolidasi antara wali murid dan pesantren, mujahadah bagi wali murid dan masyarakat setiap malam senin legi dan silaturahim atau berkunjung ke rumah para pengasuh pesantren. Sekolah di desa ini tampak besar terlihat dari banyak ruang yang ada dan luas wilayah dengan jumlah siswa-siswi yang cukup banyak.
Dewasa ini, pasca SA purna bakti (pension) pada tahun 2015 dari hiruk pikuk universitas, beliau lebih mengabdikan dirinya sebagai pengasuh dari pondok pesantren Diponegoro. Selain itu juga menjadi motivator pesantren di wilayah-wilayah tertentu. Hal unik yang ada dalam sosok SA yaitu sebagai mantan intelektual Universitas, beliau tidak memutuskan untuk menompang eksistensinya dengan menuangkan ide ide briliannya dalam sebuah tulisan sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, justru beliau memilih melakukan tindakan nyata ketimbang argumentasi semata. Menurut beliau aksi lebih abadi, baginya pesantren masa depan karena pesantren tidak membatasi golongan status sosial. Sementara pekerjaannya yang lalu bagian masa lalu, yang harapannya masa lalunya tersebut dapat menjadi lebih baik dengan tidak menjadikan sistem pemerintah sebagai sentiment pribadi semata justru menjadi tugas manusia bersama. Demikian life study yang penulis dapat paparkan.

B.     Metodologi Penelitian
Dalam life study ini penulis pertama kalinya melakukan pengamatan disekitar wilayah penelitian selanjutnya penulis melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara kepada tokoh utama yang berinesial SA dikediamannya yang berada di lingkungan pesantren Diponogoro.

dialog kehidupan

DIALOG AGAMA DAN BUDAYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN LEMBAGA
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Dialog Lintas Agama dan Budaya
Dosen pengampu Bpk. Ahmad Muttaqin


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti


PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


Dialog Agama dan Budaya dalam Kehidupan Sehari-Hari dan Lembaga

A.    Pendahuluan
Dialog ditinjau dari asal usul kata berasal dari kata Yunani, dia yang berarti antara, diantara. Bersama dan legein yang berarti berbicara, bercakap, cakap, bertukar pikiran, dan gagasan. Secara harfiah dialogos atau dialog adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, dan gagasan bersama. Secara substansial dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti , memahami, menerima, hidup damai, dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialog pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Aspek yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran, yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dengan demikian, dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang luas dan mendalam tentang aspek yang menjadi bahan dialog.[1]
Dialog dilakukan tidak hanya berkaitan dengan persoalan secara umum, tetapi juga penting dilakukan dalam konteks agama. Istilah dialog muncul setelah perang Dunia II pada saat itu orang mulai memikirkan masalah dialog. Senjak konsili Vatikan II didekralasikan tahun 1965 pihak Gereja menggiatkan usaha untuk mengembangkan dialog. Hal itu diawali dengan dibukanya sub unit dialog Antaragama di Dewan Gereja-Gereja se-Dunia(DGD). Tahun 1969 dengan mengadakan sidang di Canterbury, Inggris membentuk sebuah komite dan merancang rumusan tentang dialog. Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya dialog secara resmi dilaksanakan di Beirut yaitu Dialogue Between Men of living Faiths yang hasilnya terbentuk tim konsultasi. [2]
Sementara istilah dialog di Indonesia dimulai pada tahun 1969, yang ditandai dengan dialog antarumat Islam dan Kristiani. Pada saat itu dialog antarumat beragama mulai mendapatkan bentuk yang lebih terorganisir dan lebih institusional. Upaya dialog antarumat beragama dilakukan oleh pemerintah terutama pada masa Orde Baru, tidak terlepas dari konteks politik pada masa itu. Sebagaimana indikasi yang ditunjukan pemerintah berupaya mengambil jalan yang tidak berpihak dalam konteks hubungan antarumat beragama. Selain upaya dialog secara resmi dilakukan oleh pemerintah, beberapa lembaga non pemerintah (NGO) berbasis agama dan non agama juga ikut mengambil inesiatif untuk dialog antarumat beragama. Meskipun demikian perlu kita sadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia juga tidak terlepas dari dialog baik dalam skala forman maupun non formal, baik dalam skala kecil maupun besar. Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai bagaiamana pola dialog yang dilakukan dalam dialog yang terlembaga sebagaimana yang telah disebutkan tersebut dengan pola dialog dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penulis bermaksud memaparkan tentang pola dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dialog yang tersistem.  Untuk lebih jelasnya akan diulas dalam pembahasan di bawah ini.
 
B.  Pembahasan
1.      Penyebab Dialog
 Penyebab adanya dialog karena adanya sebuah permasalahan, lebih tepatnya permasalah yang bernuansa agama. Dalam realitanya setiap agama terkandung dua macam kecendrungan ajaran yang tampak saling bertentangan. Pertama, kecendrungan yang mengajarkan bahwa agama yang dianut oleh seseorang adalah agama yang paling benar, mutlak, superior, dan menyelamatkan, sedangkan orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka, dan harus dijahui atau dibujuk agar mengikuti agamanya. Kedua, ajaran setiap orang harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam agama dan dianjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja, bahkan kebaikan ini dianggap sebagai inti dari ajaran setiap agama
Pada hakikatnya menunjukan bahwa ajaran pertama jauh lebih dominan peranannya dan lebih subur perkembangannya dari pada ajaran kedua. Sedangkan kegiatan–kegiatan yang kelihatannya merupakan pengalaman dari ajaran-ajaran cinta kasih, persamaan dan persaudaraan selalu dipersoalakan keiklasannya dan mudah menimbulkan kecurigaan. Bahkan lebih ironis ketika semua agama yang masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi sakral, teryata dalam perjalan sejarahnya sering terlibat skandal hubungan konflik antara satu sama lain. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya  muncul di mana-mana hingga dewasa ini. Sehingga dialog dianggap sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahn tersebut, sebagaimana yang digagas oleng Hans kung dalam bukunya Global Responsibility in Search to a New Word Ethic. [3]

2.      Tujuan Dialog
Pada dasarnya dialog bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dijalankan untuk mencapai tujuan selanjutnya . Namun,  tujuan hidup bersama tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa keterlibatan semua pihak. Dalam cakrawala holistik, partisipasi dan rasa bagi keseluruhan merupakan keutamaan. Dengan demikian dialog merupakan gaya hidup orang beriman dan beragama yang perlu dan harus dijalankan kalau seseorang atau komunitas mau setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah.[4] Adapun tujuan dialog sedikitnya akan menyentuh dua pokok yaitu menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain dan mengarah kepada kerjasama untuk mencegah persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat. Pertama, dialog mengarah kepada suatu pemahaman yang otentik mengenai iman orang lain tanpa sikap untuk meremehkan dan apalagi mendistorsikan keyakinan-keyakinan mulia tersebut. Dalam hubungan ini suatu percakapan yang sungguh-sungguh dialogis bisa merupakan langkah untuk memperoleh mutual enrichment bagi setiap penghayatan iman yang berbeda-beda. Kedua, suatu percakapan dialogis juga merupakan suatu kesempatan untuk menggalang kerjasama antar agama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang nyata di masyarakata. Keprihatinan agama-agama ini akan merupakan suatu kekuatan yang baru bagi kemanusiaan untuk menanggulangi eskalasi persoalan yang formatnya memang bersifat lintas agama. Kemampuan agama-agama secara individu untuk menghadapi persoalan kemanusiaan di zaman modern ini tidak memadai lagi, diperlukan satu bentuk baru dari persekutuan antar agama untuk menghadapinya.
Dengan demikian dialog menjadi suatu harapan bagi kemanusiaan yang bisa ditawarkan oleh agama-agama. Dialog juga bisa mengilhami seluruh kelompok masyarakat untuk saling terbuka dan saling menyumbangkan potensi masing-masing demi membangun kehidupan manusia yang lebih aman, sejahtera dan sentosa.[5]

3.      Dialog dalam Kehidupan Sehari-Hari
Manusia pada dasarnya dilahirkan untuk saling bahu membahu satu sama lain atau lebih dikenal dengan istilah manusia sosial. Manusia sosial dalam kehidupannya akan sering melakukan aktivitas yang melibatkan orang lain. Dalam keterlibatan ini manusia akan membutuhkan media, media ini bertujuan untuk menjembatani diantara kedua belah pihak. Pada hakikatnya media tersebut berupa komunikasi, dalam hal ini komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui alat bantu seperti HP dan lain sebagainya. Dikesempatan ini komunikasi secara langsung dapat berupa dialog. Dialog dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari diakibatkan karena kelompok-kelompok masyarakat biasa yang karena tuntutan kebutuhan hidup (terutama makan ) mengorganisir secara diam-diam untuk berkomunikasi dengan pihak lain diluar komunitasnya, demikian pula dalam kepentingan yang lain. Untuk mengetahui dialog kehidupan sehari-hari penulis menggunakan sempel komunitas ibu-ibu PKK. Sempel ini penulis pilih karena komunitas ibu-ibu lebih banyak melakukan percakapan baik secara disengaja maupun tidak disengaja atau dengan kata lain biang rumpi sehingga menurut hemat saya komunikasi yang lebih aktif terjadi pada ibu-ibu.
Pada kesempatan ini komunitas PKK yang penulis maksud berada di dusun Papringan. Komunitas ini berdiri pada bulan Desember 2010 yang beranggotakan ibu-ibu dari 10 RW. Adapun tingkat ekonomi di dusun ini tergolong menengah kebawah dengan latar profesi sebagai Ibu Rumah Tangga dan buruh, serta jenjeng pendidikan yang sebatas SLTA atau SLTP. Dalam kegiataannya komunitas ini lebih banyak melakukan aksi sosial dengan melakukan pengumpulan dana sosial guna membantu anggota komunitas lain ketika tertimpa musibah. Namun sesekali komunitas ini melakukan kegiatan lain seperti arisan, peringatan hari ibu, syawalan pada hari raya atau saling berkunjung ketika natal atau yang lainnya. Dari hal ini tampak bahwa anggota dari komunitas tersebut tidak hanya berasal dari satu keyakinan, justru dalam komunitas tersebut terdiri dari beragam keyakinanseperti Katolik, Kristen, dan Islam. Dalam aktivitasnya komunitas tersebut tidak menonjolkan simbol keyakinan dari masing-masing keyakinan melainkan satu sama lain saling menghormati tanpa menyudutkan anggota lainnya yang minoritas. Hal ini dapat terjadi karena tujuan dari komunitas tersebut sebagai wadah untuk menyampaikan informasi dari pihak atasan (Kecamatan) kepada masyarakat luas.  Sehingga perselisihan atas nama agama tidak pernah terjadi.
Sebagaimana tutur Ibu Dewi Astuti Istiqomah selaku ketua ibu-ibu PKK bahwa perbedaan agama yang ada di dusun ini tidak menjadi permasalahan justru diantara mereka saling menghormati terlihat pada saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Sholat Idul Fitri pada saat hari raya maka umat  yang lainnya berbondong-bondong menjaga parkir kendaraan bagi masyarakt yang sedang menunaikan ibadah, sebaliknya demikian ketika umat Kristiani sedang merayakan Natal.  Tidak ketinggalan pula diantara mereka ketika hari raya pun saling megunjungi. Adapun simbol-simbol keagamaan yang pasang dirumah masing-masing masyarakat tidak mengganggu aktivitas masyarkat yang lain, misalnya dengan pemasangan pohon cemara ketika natal, menurut beliau berkunjung tidak akan membuat ia pindah keyakinan karena bagi beliau niatnya buat silaturahim bukan ibadah.
Sehingga ketika menyinggung masalah dialog agama dan budaya menurut Ibu Dewi tidak perlu karena baginya masyarakat sudah bisa hidup rukun meski ada beberapa pihak yang fanatik namun hal ini tidak menimbulkan konflik, dengan demikian kehadiran orang ketiga dalam menengarahi dialog agama dan budaya tidak diperlukan juga pula. Adapun dialog yang dilakukan hanya sebatas dialog kehidupan sehari-hari tidak ada hubungannya dengan dialog agama dan budaya. [6]
Di zaman modern dialog antarumat beragama agar tidak sekedar suatu pertukaran informasi akademik tentang berbagai tradisi yang berbeda, dialog harus menerapkan taktik korelasional, seanalogi dengan metode korelasional yang ada dalam teologi Kristen: mitra dialog tidak hanya berbicara tentang tradisi mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi tersebut dapat dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer. Dengan kata lain dialog harus menghubungkan tradisi dengan pengalaman dan dunia ini. Dalam istilah Mark Kliner Taylor disebutkan bahwa ada tiga keyataan dan tuntutan dalam dunia atau disebut dengan trilema yaitu harus setia kepada identitas dan tradisi sendiri, harus benar-benar terbuka terhadap pluralitas tradisi lainnya dan harus menentang dominasi yang merusak dunia. Jadi dalam campuran identitas, pluralitas dan resistensi yang menyusun isi dan dinamika perjumpaan antarumat beragama maka yang diperlukan yaitu mengutamakan resistensi melawan dominasi dan keprihatinan atas penderitaan baik manusiawi maupun ekologi. Dalam hal ini dialog lebih membawa munusia untuk bersikap inkusif sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan menjadi tugas bersama.[7] Sebagaimana yang tercermin dalam dialog yang telah penulis singgung di atas bahwa komunitas Ibu-Ibu PKK tidak menjadikan perbedaan agama sebuah masalah justru perbedaan agama dianggap sebagai media untuk saling menghargai dan menghormati sehingga tercapailah sebuah kerukunan. Menurut hemat saya, dialog antar agama dan budaya pada hakikatnya untuk masyarakat luas yang berada di wilayah yang multireligius tidak perlu digadang-gadangkan karena ketika setiap pribadi manusia telah menanamkan sikap tidak ingin diganggu dan menggangu,  maka ketika ia tidak diganggu, ia tidak akan mengganggu pula dan sebaliknya atau dengan kata lain setiap individu telah menanamkan rasa saling menghormati dengan sendirinya maka kerukunan akan lahir dengan sendirinya.

4.      Dialog dalam Lembaga
Dialog terlembaga kali ini penulis fokuskan pada lembaga Interfidei. Lembaga ini senjak awal berdiri telah berkonsentrasi dalam kegiatan dialog antariman. DIAN/Interfidei, yang didirikan oleh Dr. Th. Sumartana (alm), Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D. (alm), Dr. Daniel Dhakidae, Zulkifly Lubis, dan Dr. Djohan Effendi. Latar belakang historis didirikannya Lembaga ini adalah persoalan kemanusiaan dan banyak terjadi ketidakadilan hukum, Founding Fathers and Mothers merasa terpanggil untuk mendirikan Lembaga Keagamaan ini untuk menyadarkan sikap positif dan kesadaran untuk menjalin kerjasama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan, adanya tantangan politisasi negara terhadap agama-agama serta formalisasi agama oleh institusi agama. Ideologi yang dibangun adalah pemahaman bahwa dengan berdialog antar Iman bisa menciptakan saling pengertian dan menghormati dalam upaya menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia yang multikultural. Interfidei tidak membatasi diri dengan sasaran yang diajak dialog, akan tetapi sebagian besar dialog yang dilakukan dengan sasaran atau audiens dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, mahasiswa, akademisi, aktivis, komunitas based, guru-guru, pemerintah dan masyarakat pada umumnya dan pemerintah dengan harapan bisa berdampak positif bagi masyarakat. Interfidei konsisten mengadakan dialog terbuka bagi siapa saja dan menjadikan Interfidei sebagai pusat dialog. Pada perkembangan konteks zaman yang berubah disadari betul oleh kami di Interfidei secara intern, bahwa pada zaman runtuhnya orde baru, mahasiswa dan pada akademisi begitu haus dengan acara diskusi dan seminar ataupun dialog yang diadakan oleh Interfidei, tanpa bermodal banyak publikasi, peserta dialog banyak yang antusias dan tertarik dengan dialog yang diadakan. Zaman digital ini menjadi tantangan tersendiri dan perubahan orientasi pemikiran serta antusias yang menurun dari mahasiswa kepada diskusi, dialog dan seminar padahal tantangan zaman dan perubahan keagamaan kearah yang radikal dan menjadi tantangan bersama. Interfidei selalu memiliki cara dalam memandang persoalan-persoalan agama di Indonesia mengkritisi dan mengaktualisasikan bagaimana mencari solusi dari persoalan keagamaan. Interfidei juga memberikan pemahaman yang berbeda dari kurikulum yang digunakan, melihat masalah dari insider dan outsider, sehingga dapat membuat anggota yang ada didalalamnya semakin terbuka tentang agama lain. Dasar filosofisnya adalah: Agama-agama merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan religius dalam konteks apapun tidak mungkin dilepaskan dari tanggungjawab untuk memecahkan masalah-masalah sosial-kemanusiaan. Dialog dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai konflik di masyarakat; konflik antar agama, antar golongan, antara agama dan negara, agama dan ideologi.
Kegiatan dialog antariman yang dilakukan Interfidei mengalami beberapa perkembangan dan perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam konteks yang mengalami perubahan dan perkembangan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan Interfidei:
ü  Dinamika pluralisme dalam masyarakat, khususnya agama-agama (intra, antar) dan keyakinan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
ü  Hubungan antara agama dan negara, diantaranya; berdampak pada berbagai kebijakan negara dalam soal-soal sosial keagamaan.
ü  Tantangan global yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini berkaitan dengan media, lingkungan hidup, serta berbagai penyakit sosial: kemiskinan, HIV/AIDS, tenaga kerja dan pendidikan.
ü  Perkembangan jaringan Interfidei pada tingkat nasional dan internasional.
Sejak berdirinya Interfidei merupakan semangat dan kerjasama dengan dialog antar Iman. Prinsip yang mendasar bahwa keyakinan bisa didiskusikan dari pemahaman bersama dan mendalam dalam ruang yang bebas terbuka. Berkaitan dengan dialog. Interfidei terbangun untuk menjembatani misi agama-agama dan tantangan persoalan masyarakat yang dihadapi oleh agama. Selain itu, tujuan yang lain untuk memfasilitasi forum agar pandangan-pandangan terhadap keimanan bisa didialogkan agar dapat menciptakan tanggungjawab sosial bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Dialog dapat dijadikan jalan untuk mencapai makna yang sesungguhnya dari setiap agama dan menghargai perbedaan pemahaman masing-masing agama. Disamping itu, Interfidei juga bertujuan untuk terbuka dalam persamaan dan perbedaan dengan sikap dialog, tanpa paksaan. Untuk mengatasi konflik yang membawa agama, Interfidei bekerjasama dengan jaringan untuk mengadvokasi konflik tersebut dan jika terjadi konflik Interfidei mengadvokasi dengan jaringan ditingkat lokal maupun nasional. [8]
Dengan demikian menurut hemat saya DIAN sebagai NGO yang bergerak dalam dialog maka dialog antar agama dan budaya tentu dianggap sangat penting dalam menumbuhkan kerukunan masyarakat. Namun,  dialog yang  dilakukan sepertinya terjadi ketika konflik mulai bermunculan sementara dalam aplikatif secara nyata belum terlihat wujud pastinya. Dengan demikian ketidakpastian dari suatu lembaga dialog maka akan melahirkan lembaga-lembaga dialog lainnya, yang dalam hal ini hanya akan berlomba-lomba membuat program dialog tanpa memperhatikan siapa yang memerlukan dialog. Dan menurut saya tidak perlu adanya lemabga ketika setiap individu masyarakat telah memiliki sikap saling menghormati dan memahami.

C.    Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa dialog pada mulanya muncul karena dalam setiap agama mengandung dua unsur ajaran yang saling bertentangan sehingga menuntut adanya dialog. Dialog dalam hal ini bertujuan untuk saling terbuka, saling belajar satu sama lain dan saling menghormati. Dalam kehidupan sehari-hari dialog antar agma dan budaya seyogyanya tidak perlu dilakukan karena setiap individu telah menanamkan rasa saling menghormati. Lain halnya dalam dialog lembaga, Interfaith selalu melakukan dialog karena bagian dari tujuannya sehingga dialog antar agama dan budaya dirasa cukup penting dalam menanamkan kerukunan antar umat.

Daftar Pustaka

Banawiratma dkk. Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia. Jakarta: Kerjasama antara Mizan Publika dan CRCS. 2010.

Daya, Burhanuddin.  Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta:LkiS.2004..
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman.Yogyakarta: Teras. 2011.

Sumartana Dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tahun 1.

Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan tanggal 13 Desember 2015.
 Wawancara dengan Resta Tri Widyadara selaku Staff Interfidei di kediamannya Gowok.











[1] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 106-107.

[2] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta:LkiS, 2004) hlm. 24.
[3] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Meredam Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, hlm. 1.

[4] Banawiratma dkk, Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik Di Indonesia ( Jakarta: Kerjasama antara Mizan Pub
lika dan CRCS, 2010). Hlm. 13.
[5] Sumartana Dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Tahun 1), hlm. xxiii-xxiv.
[6] Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti Istiomah selaku ketua PKK di kediamannya Papringan tanggal 13 Desember 2015.
[7] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multiagama dan tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm, 130.
[8] Wawancara dengan Resta Tri Widyadara selaku Staff Interfidei di kediamannya Gowok.

pola kehidupAN


POLA KEHIDUPAN KEAGAMAAN KOMUNITAS GERKATIN (GERAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN TUNARUNGU INDONESIA) CABANG YOGYAKARTA
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Metodologi Penelitian Agama
Dosen pengampu Bpk Munawar


Disusun Oleh:
Ita Fitri Astuti

PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015


Latar belakang
Suatu kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia bahwa diantara mereka terdapat beberapa masyarakat yang menyandang keterbelakangan fisik baik keterbelakangan yang diakibatkan oleh beberapa faktor atau yang diakibatkan oleh keturunan, keterbelakangan ini diantaranya seperti  penyandang tunarungu.
Keseharian masyarakat tunarunggu tentu memiliki perbedaan dengan masyarakat pada umumnya karena dalam komunikasi ia tidak menggunakan cara selazimnya manusia berkomunikasi yaitu dengan menggunakan bahasa oral tetapi ia justru menggunakan bahasa isyarat. Dalam hal ini banyak menimbulkan problem baik ketika aktivitas sehari-hari, aktivitas di sekolah atau pada hal-hal lainnya karena tidak semua masyarakat memiliki kemampuan mengenai bahasa isyarat. Sehingga tidak jarang posisi seperti ini mengakibatkan masyarakat Tuli termarjinalkan dan bahkan hak-hak kemanusiaan bagi setiap bangsa Indonesia tidak sepenuhnya didapatkannya, salah satu contoh di bidang pendidikan.
Berbicara mengenai pendidikan khususnya bagi masyarakat Tuli pada mulanya tidak semudah saat ini, dahulu tidak semua sekolah dapat menerima masyarakat Tuli untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah, dan bahwa masyarakat Tuli juga luput dari perhatian pemerintah. Namun pada saat ini kondisi tersebut mulai berbalik, masyarakat Tuli mulai mendapatkan haknya sebagai bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan secara lanyak, terlihat dari beberapa sekolahan yang menapung masyarakat Tuli meskipun sekolah-sekolah ini lebih banyak berkembang di wilayah perkotaan. Hal ini tidak terlepas dari organisasi peduli kesejahteraan masyarakat Tuli.
Salah satu organisasi tersebut dikenal dengan sebutan GERKATIN. GERKATIN adalah organisasi tunarungu tingkat nasional satu-satunya di Indonesia, berasas Pancasila, berlandaskan UUD 1945 dan tidak terikat organisasi politik apapun. Organisasi ini terbentuk atas dasar senasib memperjuangkan hak-hak umum untuk meningkatan kesejahteraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada tanggal 21-23 Februari 1981 bertepatan tahun internasional cacat yang diadakanknya KONGRES NASIONAL I menjadi  sejarah awal tercetuslah GERKATIN itu sendiri. Organisasi ini bekembang di beberapa daerah salah satunya di Yogyakarta. Adapun kegiatan dari organisasi tersebut diantaranya seminar baik dalam negeri maupun luar negeri, pelatihan bahasa isyarat, dan lain sebagainya, yang dalam waktu dekat ini telah mengadakan seminar di Dinas Pendidikan dan Pemuda Olahraga wilayah Yogyakarta. yang beranggota dari beberapa macam anggota yang memiliki berbagai keyakinan.[1]
Yang menarik dalam hal ini hubungan antar satu anggota dengan anggota lain yang tergabung dalam organisasi sangat erat meskipun keyakinan diantara mereka berbeda-beda. Yang menariknya lagi berdasarkan pengakuan dari salah satu masyarakat Tuli bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu agama karena keterbatasan guru agama yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang bahasa isyarat. Sehingga mereka tidak dapat menyerap ilmu keagamaan yang mereka yakini. Dari hal inilah peneliti berusaha menelaah lebih dalam terkait pola kehidupan keagamaan masyarakat Tuli yang ada dikomunitas tersebut. Dengan harapan peneliti dapat mengetahui pola pemahaman spiritual secara emosional terhadap hubungan sosial masyarakat yang ada. Adapun penelitian ini rencananya akan peneliti lakukan dengan pendekatan psikologi dengan menggunakan metode wawancara dan observasi sebagai langkah dari penelitian lapangan ( field research).




[1] www. Gerkatin.com 

Yohanes

AKULAH TERANG DUNIA (YOH 8,12-20)
 Telaah Injil Yohanes
Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah
Studi Al-Quran, Hadis dan Alkitab
Dosen pengampu pak Wahyu Nugroho


Di Susun Oleh:
Ita Fitri Astuti
1520510071


KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
PRODI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015




AKULAH TERANG DUNIA (Yoh 8,12-20)
 Telaah Injil Yohanes

A.   Pendahuluan
Pembahasan pada kesempatan ini penulis awali dengan mengutip karya Michael Keene dalam Alkitab: Sejarah, Proses Pembentukan, dan pengaruhnya. Keene meyebutkan bahwa Injil Yohanes ditulis sekitar tahun 95 M. Sementara menurut J. Wesley Brill Yohanes tidak diketahui dengan pasti kapan Yohanes menulis Injil itu,berdasarkan dugaan Injil ditulis pada tahun 80 dan 90 an, lain halnya keterangan yang diperoleh dari Dead sea Scrolls kemungkinan Injil ditulis antara tahun 65 dan 75. Sejarah gereja menyatakan bahwa Yohanes telah pergi ke Asia Kecil dan menjadi pemimpin dalam pekerjaan Tuhan di sana. Pada masa tuanya ia tinggal di Efesus dan di sana ia menulis Injilnya.[1] 
Meskipun kepastian penulisan Injil masih menimbulkan teka teki namun, Injil Yohanes merupakan kajian yang lebih mendalam tentang hidup Yesus dibandingkan para penulis Injil lain. Walaupun bahasanya sederhana, di bawah permukaan, Injil ini merupakan studi yang menyelidiki misteri  Kristus. Disatu sisi hal ini yang membuat Yohanes mudah dibaca daripada Injil-Injil lainnya. Ia mengeksplisitkan apa yang oleh penginjil lain hanya implisit bahwa Injil bukanlah biografi tentang Yesus melainkan sebuah penafsiran tentang hidup dan ajaran-Nya.  Injil Yohanes lebih unik, karena  gambaran Yesus dalam Yohanes begitu berbeda dengan yang ditemukan dalam Injil Sinoptik. Yohanes secara teologis membuat peryataan yang sangat mendalam bahwa Yesus adalah Firman Allah yang menjadi manusia, dalam Yohanes tidak menjelaskan tentang pengusiran setan maupun penyembuhan penderita kusta sebagaimana dijelaskan pada Injil Markus justru Yohanes memasukan perubahan air menjadi anggur yang disebut dengan tanda-tanda. Selain itu, Yohanes menunjukan bahwa Yesus adalah anak Allah berbeda dengan Injil Sinoptik yang menyebutkan bahwa mukjizat merupakan indikasi dari kedatangan Kerajaan Allah. Yohanes juga menyebutkan bahwa pelayanan Yesus dipusatkan di Yerusalem dan berkisar pada tema perayaan Yahudi tentang cahaya, kehidupan dan kemuliaan. Dalam Yohanes kebersihan Bait Allah ditempatkan sangat awal dalam pelayanan Yesus dan tidak ada catatan tentang perubahan rupa (fransfigurasi) semetara dalam Injil Sinoptik banyak pelayanan Yesus terjadi di Galilea. Pengajaran Yesus dalam Yohanes kurang pendek, kata-kata kurang ringkas dan perumpamaan yang ditemukan dimana-mana dan terdiri dari wacana yang panjang. Injil Yohanes memberikan fondasi bagi banyak pemahaman tentang Yesus selanjutnya.[2] Namun demikian kata-kata yang banyak mengandung perumpamaann dalam Injil Yohanes tidak jarang menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Maka dari itu penulis berupaya menelaah penafsiran-penafsiran yang muncul dalam Injil Yohane khususnya pada bagian 8,12-20 tentang Akulah (Yesus) Terang Dunia. Untuk lebih jelasnya akan penulis bahas pada bab selanjutnya..

B.   Pembahasan
1.    Faktor yang Menimbulkan keragaman Penafsiran Yohanes
Secara umum menurut hemat penulis keragaman penafsiran Yohanes timbul akibat kata-kata yang terdapat pada Yohanes banyak mengandung perumpamaan. Tampak dari jenis pendekatan metodologis yang selalu digunakan untuk menafsirkan Yohanes berbeda-beda. Pada dasarnya ada dua pendekatan yang sering digunakan yaitu pendekatan yang berorientasi historis dan pendekatan yang berorientasi pada perwujudan Yohanes yang dimiliki saat ini. Dari kedua pendekatan tersebutlah yang menimbulkan perbedaan penafsiran. Selain itu, tujuan dari penulisan Yohanes juga sering menimbulkan perbedaan, ada sebagaian penulis yang bertujuan untuk menjaga tradisi historis dan gagasan kristologis tersebut. Ada pula yang menafsirkan tujuan dari Yohanes berdasarkan Yoh 20, 31. Yang dinyatakan “… semua yang tercantum disini sudah dicatat supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, anak Allah dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya “. [3]
Namun, dewasa ini banyak penulis yang memilih pandangannya bahwa Injil ditulis dan ditunjukan untuk orang-orang Kristen yang berasal dari kalangan Yahudi untuk meneguhkan iman mereka di tengah-tengah krisis yang mereka hadapi. Tujuan Injil bukanlah mempertobatkan orang-orang Yahudi ke dalam iman akan Yesus melainkan memperkuat iman orang-orang Kristen dalam situasi krisis. Menurut R. E. Brown bahwa Injil ditulis untuk orang-orang Kristen Yahudi yang masih tetap tinggal di dalam sinagoga diaspora. Ada tanda-tanda di dalam Injil bahwa masih bimbang antara iman akan Yesus dan ketidakmauan untuk meninggalkan Yudaisme. Penegasan bahwa Yesus adalah Mesias bertujuan untuk meneguhkan iman mereka. Situasi krisis tersebut menjelaskan kesan bahwa Injil Yohanes bersifat anti-Yahudi. Yohanes lebih kuat menampilkan konflik antara jemaat Kristen dan jemaat Yahudi. Polemik melawan orang-orang Yahudi juga tampak dalam penggunaan sebutan orang-orang Yahudi (Ioudaios). Kata Ioudaios muncul 60 kali dalam Injil
Dalam penginjilan tidak menampilkan serangan terhadap orang-orang Yahudi karena kemunafikan atau juga karena perilaku mereka seperti halnya dalam Injil Sinoptik. Bagi Yohanes hukum Taurat sudah diganti oleh kasih yang telah ditunjukan Allah melalui Yesus dan membangun Perjanjian Baru. Bahkan studi kritis terhadap Injil Yohanes telah menampakkan beberapa bagian dalam Injil yang menunjukan ketidaksinambungan antarbagiannya. Demikian pula terhadap identifikasi penulis Yohanes menjadi perdebatan. Ada beberapa asumsi kalau penulis Yohanes tersembunyi sebagaimana yang terkandung dalam Yoh 21,24 bahwa murid yang dikasihi Tuhanlah yang memberi kesaksian dan menuliskan kesaksiannya. Ada pula yang berasumsi bahwa penulis Yohanes adalah Yohanes anak Zabedeus karena ia hadir pada penjamuan terakhir, ia berada bersama Petrus pada saat kebangkitan. Namun demikian asumsi tersebut menimbulkan penolakan. Meskipun demikian muncul informasi-informasi yang meneguhkan dugaan bahwa murid yang dikasihi adalah seorang Yahudi lebih konkret lagi orang Yahudi Palestin. Ia mengenal baik  pemikiran dan tradisi Yahudi, mengenal baik geografi Palestina. [4] Demikian faktor yang mempengaruhi keragaman penafsiran Injil Yohanes.
         
2.  Isi Kandungan Yohanes
Sebelum memasuki inti pembahasan penulis akan paparkan terlebih dahulu isi kandungan Yohanes secara singkat. Adapun secara umum Injil Yohanes terdiri dari dua bagian. Yaitu kitab tanda-tanda dan kitab kemuliaan. Kedua bagian tersebut di awali dengan prolog dan diakihiri oleh epilog. Bab pertama pada injil merupakan prolog sementara bab 21 merupakan epilog. Secara garis besar Injil Yohanes terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut:
Pertama, 1,1-18: Prolog. Prolog ini dibangun oleh sebuah himne atau kindung puitis yang berfungsi sebagai pengantar  ke dalam pemaparan tentang Sabda yang menjadi daging.
Kedua, 1,19-52: Persiapan. Sebagaimana dalam Injil-Injil Sinoptik, kisah pelayanan publik Yesus dipersiapkan oleh penginjil dengan mengisahkan pelayanan Yohanes yang dalam Injil-Injil Sinoptik dikena sebagai Yohanes Pembaptis. Dikisahkan juga empat murid pertama yang memperoleh kesaksian tentang Yesus dan datang untuk mengikuti-NYa.
Ketiga, 2,1-12,50: Kitab Tanda-Tanda. Bagian pertama Injil Yohanes ini memuat tindakan dan pengajaran (diskursus) Yesus yang ditunjukan kepada banyak orang. Tindakan dan pengajaran–Nya memunculkan krisis diantara mereka. Sebagian dari mereka percaya, tetapi sebagian yang lain menginginkan kematian Yesus. Bagian ini memuat tujuh tanda yang dikerjakan Yesus dan  diskursus yang mengutip setiap tanda untuk menjelaskan maknanya. Tujuh tanda tersebut yaitu pengubahan air menjadi anggur (2,1-11), penyembuhan anak pegawai istana (4,46-54), penyembuhan orang lumpuh di kolam Betesda (5,1-15), penggandaan roti (6, 1-15), Yesus berjalan di atas air (6,16-21), penyembuhan seorang buta (9, 1-41) dan pembangkitan Lazarus (11,1-44). Teks Yohanes pada dasarnya tidak hanya mengidentifikasi tujuh tanda tersebut saja. Melainkan ada beberapa kitab tanda-tanda lainnya.
Dalam hal ini ada tiga kitab tanda-tanda selain tujuh tanda yang disebutkan di atas yaitu sebagai berikut, dalam 1,19-51 yang mengisahkan hari-hari pertama yang mengawali karya pelayanan Yesus. Di sini ditampilkan latar pelayanan Yesus, kesaksian awal Yohanes Pembaptis, para murid pertama. kemudian dalam  2-4 mengenai dari Kana ke Kana, bagian ini menampilkan dua tanda yang dikerjakan Yesus (air menjadi angur, penyembuhan anak pegawai istana). Kedua tanda ini terjadi di Kana. Kedua tanda ini mengapit dua dialog Yesus (dengan Nikodemus dan dengan wanita Samaria). Tanda-tanda dan dialog-dialog tersebut dirangkai dengan kisah tentang penyucian Bait Allah dan kesaksian Yohanes Pembaptis. Dan yang terakhir, dalam 5-10 mengenai Yesus dalam pesta Yahudi, pada bagian ini berbicara secara khusus tentang pelayanan Yesus dalam konteks pesta-pesta utama Yahudi. Pesta-pesta utama dalam tradisi religius Yahudi tersebut menjadi bingkai yang memuat pemaparan tentang Yesus. Pesta-pesta tersebut adalah Sabat, Paskah, Pondok Daun, Penyucian Bait Allah.
Keempat, 13, 1-20,31: Kitab Kemuliaan. Dalam kitab kemuliaan pengajaran Yesus ditunjukan kepada publik yang bersifat spesifik, yaitu dua belas murid berbeda dengan kitab tanda- tanda yang ditunjukan kepada khalayak ramai. Dalam bagian pertama kitab kemuliaan, berkali-kali Yesus menyatakan bahwa saat-Nya belum tiba. Bagian kedua ini menyatakan datangnya saat itu yaitu sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya. Kitab kemuliaan terbagi dalam tiga bagian sekaligus penutup yaitu 13-17 adalah perjamuan terakhir, 18-19 adalah kesengsaraan, 20,1-29 adalah kebangkitan, dan 20,30-31 adalah penutup.
Dalam 13-17 tentang perjamuan terakhir dan wasiat terakhir Yesus. Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya dan menjelaskan maksud tindakan–Nya tersebut. Setelah itu Yesus memberikan diskursus terakhir yang menjadi wasiat Yesus kepada murid-murid. Dalam wasiat-Nya Yesus berbicara tentang jalan menuju kepada Bapa (14.1-14), tentang Roh Kudus (14,15-24), tentang hidup para murid setelah kepergian-Nya (bab15-16). Pada akhirnya, Yesus berdoa untuk murid-murid-Nya (bab 17).
Sementara dalam 18-19 mengenai kesengsaraan. Saat Yesus telah tiba, saat peninggian dan pemuliaan-Nya. Ia ditangkap, diadili, disalibkan dan wafat. Lain halnya dalam 20,1-29 tentang kebangkitan, pada bagian ini memuat peristiwa di makam Yesus dan penampakan-penampakan Yesus kepada para murid. Dan yang terakhir dalam 20,30-31 mengenai penutup mengambarkan tentang penginjil yang mengungkapkan maksud penulisan Injil.[5]
.
3.  Penafsiran Yohanes 8, 12-20: Akulah Terang dunia
Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas bahwa poin utama dalam pembahasan ini adalah telaah terhadap penafsiran Yohanes dalam bab 8,12-20. Adapun isi bab tersebut yaitu:
12Maka Yesus berkata lagi kepada orang banyak, kataNya: “Aku lah terang dunia ! Barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, tetapi ia akan mempunyai terang kehidupan”. 13 Lalu kata orang-orang Farisi kepada-Ny.a.“Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak benar”. 14 kata Yesus kepada mereka, “Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri,kesaksian-Ku itu benar, sebab Aku tahu, dari mana Aku datang dan kemana Aku pergi. Tetapi kamu tidak tahu, darimana Aku datang dan kemana Aku pergi. 15 kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorang pun, 16 dan kalaupun Aku menghakimi, penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri, tetapi Aku bersama dengan Bapa yang mengutus Aku. 17 Dalam kitab Tauratmu ada tertulis bahwa kesaksian dua orang adalah sah; 18 Akulah yang bersaksi tentang diri-Ku sendiri, dan juga Bapa, yang mengutus Aku, bersaksi tentang Aku. 19 Lalu kata mereka kepada-Nya, “Dimanakah BapaMu?” Jawab Yesus, Baik Aku, maupun Bapa-Ku tidak kamu kenal. Sekiranya kamu mengenal Aku, kamu mengenal juga Bapa-Ku. 20 Kata-kata itu dikatakan Yesus dekat perbendaharaan waktu ia mengajar di Bait Allah. Tidak seorang pun yang menangkap Dia, karena Saat-Nya belum tiba.[6]

Dari ayat-ayat tersebut menimbulkan beberapa penafsiran, dikesempatan ini penulis paparkan penafsiran Yohanes berdasarkan beberapa prespektif diantaranya St. Eko Riyadi, Pr.  Dalam prespektif Riyadi “Aku” memperoleh tekanan kuat dalam kalimat “Akulah terang dunia”, artinya terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti terang itu tidak akan berjalan dalam kegelapan melainkan mempunyai terang hidup. Pernyataan ini senada dengan pernyataan tentang air hidup. Tentang air, Yesus mengatakan bahwa barangsiapa percaya kepada-Ku, dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup. Tentang terang, Yesus mengatakan bahwa siapa yang percaya kepada-Nya tidak hanya akan berjalan di dalam terang tetapi memiliki terang hidup. Dalam hal ini yang dibutuhkan oleh dunia dan dengannya dunia dapat keluar dari kegelapan adalah Yesus sendiri. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang berjalan di dalam Dia, tidak akan berjalan dalam kegelapan. Pernyataan diri Yesus pada akhirnya menimbulkan reaksi dari orang Farisi. Kesaksiannya tidak bisa dipercayai karena diberikan oleh satu pihak saja dan diberikan oleh dirinya sendiri. Mereka memperotes Yesus karena ia menyatakan diri-Nya sebagai sang terang dunia. Akhirnya Yesus berbicara. Bagi Yesus kesaksianNya adalah benar meskipun ia memberi kesaksian tentang diriNya sendiri. KesaksianNya juga merupakan kesaksian yang sah karena ia tidak sendirian dalam memberikan kesaksian, dalam hal ini Bapa juga bersaksi atas diriNya. Kesaksian itu benar karena sebagaimana yang diatur dalam hukum Taurat bahwa kesaksian itu benar apabila dinyatakan oleh dua pihak.
Akan tetapi orang Farisi hanya melihat Yesus, mereka tidak mengerti kalau Yesus dan Bapa adalah satu. Oleh karena itu ketika ia berkata bahwa Bapa memberi kesaksian tentang dirinya, orang menanyakan dimanakah Bapa nya itu. Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan legalis. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang Dia, Yesus juga harus membawa Bapa itu kehadapan mereka. Jawaban Yesus masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal baik Anak maupun Bapa. Seandainya mereka mengenali identitas sejati Yesus, maka mereka akan mengenali Bapa juga. Mereka bertanya tentang dimanakah Bapa karena tidak mampu mengenai bahwa Anak dan Bapa adalah satu. Dengan menolak Yesus maka mereka menolak Bapa yang mengutus-Nya. Hal ini akan dinyatakan lagi oleh Yesus kepada Filipus yang meminta kepadaNya agar menunjukan Bapa kepadanya. Kepada Filipus Yesus menjawab,
“telah sekian lama Aku bersama-sama kamu Filipus namun, engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa: bagaimana engkau berkata; Tunjukanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayaklah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakana kepadamu, tidak Aku katakana dari diriKu sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaanNya.” (Yoh14,9-10)    

Dalam kisah ini pengajaran itu terjadi di dekat perbendaharaan di dalam Bait Allah. Penginjil memberikan informasi bahwa tidak seorang pun menangkap Yesus karena saatNya belum tiba sebagaimana yang disiratkan dalam ayat 20.[7]
Sementara,dalam prespektif William Barclay mengungkapnkan bahwa ayat-ayat di atas merupakan soal-jawab dengan penguasaYahudi  yang terjadi di dalam tempat Perbendaharaan Bait Allah, yang terletak di Halaman Wanita. Halaman Bait Allah yang pertama adalah untuk orang-orang bukan Yahudi, halaman kedua adalah halaman untuk wanita. Hal tersebut demikian oleh karena orang-orang wanita tidak boleh melewati batasan itu kecuali jika mereka benar-benar hendak mempersembahkan korban di atas mezbah yang terletak di dalam halaman Iman-Iman. Disekeliling halaman Wanita itu ada serambi dan di dalamnya terdapat tiga belas peti uang pada tembok dan di dalam peti-peti itu orang memasukan persembahannya.
Peti-peti tersebut disebut terompet karena bentuknya yang menyerupai terompet. Tiga belas peti uang tersebut masing-masing dimaksudkan persembahan-persembahan tertentu. Pada dua peti pertama harus dimasukkan setengah syikal yang diwajibkan bagi orang Yahudi untuk membayarnya guna pemeliharaan Bait Allah. Pada peti ketiga dan keempat dimasukkan sejumlah uang senilai harga dua ekor merpati yang wajib bagi wanita guna penyucian  setelah melahirkan anak (Imamat 12:8). Pada peti kelima dimasukan persembahan yang digunakan untuk biaya kayu bakar yang dibutuhkan agar api mezbah terus menerus menyala. Pada peti keenam dimasukkan persembahan yang dibutuhkan untuk biaya kemenyan yang dipakai dalam kebaktian-kebaktian di dalam Bait Allah. Pada peti ketujuh dimasukkan persembahan guna memelihara bejana-bejana emas yang dipakai dalam kebaktian-kebaktian. Terkadang seseorang atau satu keluarga menyisihkan jumlah uang tertentu guna persembahan dosa atau persembahan pengucapan syukur. Pada enam peti sisanya adalah suatu persembahan ekstra yang ingin diberikan jemaat.    
Jelaslah bahwa tempat Pembendaharaan itu merupakan tempat yang cukup ramai dikunjungi orang. Tempat tersebut juga merupakan tempat sebaik-baiknya untuk mengumpulkan orang-orang untuk diberi pelajaran. Di dalam bagian tersebut Yesus memberikan suatu pernyataan yang penting “Akulah terang dunia”. Ada kemungkinan besar bahwa latarbelakang suasana di atas membuat pernyataan Yesus dua kali lebih hidup dan mengesankan. Perayaan yang dihubungkan oleh Yohanes dengan percakapan ini adalah hari raya Pondok Daun (Yoh 7:2). Telah dijelaskan pula pada (Yoh 7:37) bagaimana upacara-upacara ini telah menimbulkan kejadian dimana Yesus menyatakan pemberian air yang hidup kepada manusia. Akan tetapi ada ucapan lainyang berhubungan dengan hari raya itu.[8]
Pada malam hari pertama dilakukan upacara yang disebut Penerangan Bait. Upacara ini dilakukan di Halaman Wanita. Halaman ini dikelilingi oleh serambi yang lebar untuk dapat menampung para penonton. Pada tengah-tengah halaman itu telah ditempatkan empat kendi (yaitu tempat lilin yang bercabang-cabang) yang besar. Pada waktu hari menjadi petang, maka keempat kendi besar dipasang dan dikatakan orang kalau kandi-kandi itu memancarkan nyala terang yang begitu besar keseluruh kota Yerusalem sehingga tiap malam halaman dalam rumah terjadi terang benderang. Dan sepanjang malam itu, sampai ayam jantan berkokok pada pagi hari berikutnya, orang-orang yang termulia dan yang paling bijak dan paling suci di Israel menari-nari dihadapan Tuhan, sambil nyanyi Mazmur sukacita dan puji-pujian sambil ditonton oleh orang banyak. Yesus berkata: “Kamu telah melihat nyala api dan penerang Bait menembuh kegelepan. Aku adalah Terang Dunia, karena orang yang mengikuti Aku mempunyai terang, tidak hanya satu malam yang menggetarkan hati, melainkan untuk sepanjang perjalanan hidup seluruhnya. Terang dari Bait itu adalah cemerlang, akan tetapi pada akhirnya akan berkedip-kedip dan padam. Akulah Terang yang menyala untuk selamanya.”  
Yesus telah berkata: “Barangsiapa yang mengikuti Aku, dia tidak berjalan di dalam gelap, melainkan akan mendapat terang kehidupan.” Terang kehidupan berarti dua hal.dalam bahasa Yunani dapat berarti terang yang terpancar dari sumber kehidupan atau terang yang memberi kehidupan. Dalam bagian ini dapat berarti kedua-duanya. Yesus adalah terang Allah yang telah datang diantara manusia dan Dia juga terang yang member kehidupan kepada manusia. Sama seperti bunga tidak mungkin bisa bersemi jika tidak pernah melihat sinar matahari, demikian juga hidup kita tidak bisa bersemi dengan keagungan dan keindahan yang seharusnya dipunyai, kecuali jika hidup itu disinari oleh terang kehadiran Yesus.
Dalam bagian ini Yesus berkata tentang hal mengikuti Dia sendiri. Mengikuti dalam bahasa Yunani ialah akolouthein  mempunyai lima arti yang berbeda akan tertapi berhubungan erat satu sama lain:[9]
(1) Kata itu seringkali digunakan untuk seorang serdadu yang mengikuti kaptennya. Serdadu itu ikut kemana saja kaptennya memimpin dia. Dalam hal ini dapat dianologikan bahwa orang Kristen merupakan serdadu dan Kristus adalah komandannya. (2) kata itu juga digunakan untuk seorang budak yang menyertai tuannya. Secara harfiah dia benar-benar selalu siap mendampingi dan melayani tuannya. Orang Kristen adalah seorang budak yang kesukaannya ialah melayani Kristus. (3) kata itu digunakan untuk menerima baik pandangan yang bijaksana dari seorang penasehat. Orang Kristen adalah orang yang memakai nasehat Kristus sebagai pedoman hidup dan kelakuan. (4) seringkali berarti menuruti undang-undang kota atau negara. Kalau seorang menjadi anggota yang berguna dari masyarakat atau persekutuan, dia harus setuju untuk mematuhi hukum-hukumnya. Orang Kristen yang menjadi warganegara kerajaan surge menerima baik undang-undang dari kerajaan dan dari Kristus sebagai hukum yang memerintah hidupnya. (5) berarti juga mengikuti garis argumentasi dari si guru atau mengikuti intisari dari pembicaraan orang. Orang Kristen adalah orang yang telah mengerti arti dari pengajaran Kristus. Dia tidak mendengar tanpa pikir atau perhatian. Dia menampung pesan itu di dalam akal-budinya dan mengerti, menerima kata-kata itu dalam ingatannya dan mengingat-ngingatnya dan menyimpannya di dalam hati dan menurut.    
Menjadi pengikut Kristus berarti memberi seluruh dirinya, badan, jiwa dan nyawa dalam penurutan kepada Tuannya dan untuk memasuki penurutan itu berarti berjalan di dalam terang . Dalam menuju itu membutuhkan hikmat surgawi untuk perjalanan di dunia. Orang yang mempunyai pertunjuk yang aman dan peta yang tepat adalah orang yang pasti sampai dengan selamat pada akhir perjalannya. Yesus Kristus adalah petunjuk itu dan dia sajalah yang mempunyai peta kehidupan. Mengikuti Dia berarti berjalan dengan selamat sepanjang hidup dan sesudah itu masuk ke dalam kemuliaan.
Pada waktu Yesus menyatakan diri sebagai Terang Dunia, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi member reaksi permusuhan. Perkataan “terang” khususnya dalam pemikiran dan bahasa orang Yahudi dihubungkan dengan Tuhan. “Tuhan adalah terang” (Mzm 27:1), “Tuhan akan menjadi penerang abadi bagimu” (Yes 60:19). “Dan dibawah terangNya aku berjalan di dalam gelap” (Ayb 29:3). “Sekalipun aku duduk di dalam gelap, Tuhan akan menjadi terangku” (Mi 7:8). Para Rabi menyatakan bahwa nama dari Messias ialah terang. Jika Yesus menyatakan diri sebagai Terang Dunia maka Dia menuntut sesuatu yang paling tinggi.
Argumentasi yang diberikan di dalam bagian ini adalah sulit dan rumit, akan tetapi hal itu meliputi tiga unsur:[10]
(1)Orang-orang Yahudi menuntut bahwa sesuatu pernyataan yang telah dibuat Yesus tidak dapat dipandang tepat oleh karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Hal ini seperti yang dilihat oleh mereka, hanya didukung oleh kata-kataNya sendiri saja, dan menurut hukum orang Yahudi suatu pernyataan harus didasarkan atas bukti dari dua saksi, sebelum hal itu dipandang benar.  “Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan” (Ul19:15). “Berdasarkan keterangan dari dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukummati, atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati” (Ul 17:6). “… tetapi kalau hanya satu orang saksi saja tidak cukup untuk member ketetapan hukuman mati” (Bil 35:30). Jawaban Yesus ada dua ganda.
Pertama, ia menjawab bahwa jawaban Dia sendiri adalah cukup. Dia menyadari benar kuasaNya sendiri, sehingga tidak perlu ada saksi lain. Ini bukanlah kebanggaan yang timbul dari kepercayaan atas diri sendiri. Yesus begitu menyadari hubunganNya yang dekat dengan Allah sehingga Dia tidak membutuhkan suatu kuasa lain untuk mendukung tuntutanNya kecuali hubunganNya dengan Allah. Kedua, Yesus berkata dalam kenyataan sesungguhnya bahwa Dia telah mempunyai saksi kedua dan saksi kedua itu adalah Allah. Bagaimana Allah member Allah member kesaksian atas kuasa yang tertinggi dari Yesus? (a) kesaksian Allah ada dalam kata-kata Yesus. Tidak ada seorangpun dapat berkata-kata dengan hikmat itu kecuali Allah memberikannya pengetahuan, (b) kesaksian Allah adalah perbuatan-perbuatan Yesus. Tidak ada seorangpun dapat dapat berbuat perkara-perkara yang demikian itu kecuali Allah yang bertindak melalui Dia, (c) kesaksian Allah ada di dalam akibat tindakan Yesus pada manusia. Kenyataan bahwa Yesus dapat mengubah orang yang jahat menjadi baik adalah bukti dari kuasaNya yang bukan hanya kuasa manusia, melainkan dari Allah. (d) kesaksian Allah Nampak dalam reaksi orang terhadap Yesus. Dimana saja dan kapan saja Yesus telah dinyatakan sepenuhnya, dimana saja dan kapan saja Salib telah diberitakan segala kebesaran dan kemuliaannya maka langsung timbul respons yang meluap dalam hati orang. Respon itu adalah Roh Kudus Allah yang bekerja dan memberi kesaksian dalam hati orang-orang. Tuhan yang ada di dalam hati kita memungkinkan kita untuk melihat Allah di dalam Yesus.
(2) Kedua, Yesus membicarakan tentang hakNya untuk menghakimi. KedatanganNya ke dalam dunia ini bukanlah pertama-tama untuk menghakimi melainkan untuk mengasihi. Pada waktu bersamaan reaksi orang terhadap Yesus pada diriNya merupakan suatu penghakiman, jika ia tidak melihat ada keindahan di dalam Yesus maka ia menghukum diri sendiri. Di sini Yesus menarik garis kontras antar dua macam penghakiman.
(a) Ada penghakiman yang didasarkan atas pengetahuan manusia dan standar manusia dan tidak pernah melihat apa yang berada di bawah permukaan. Itulah penghakiman dari ahli Taurat dan orang Farisi. (b) Ada suatu penghakiman yng didasarkan atas pengetahuan mengenai segala fakta, bahkan fakta yang tersembunyi dan pengetahuan semacam itu hanya ada pada Tuhan Yesus yang menyatakan bahwa, setiap penghakiman yang Dia ucapkan bukanlah dari manusia melainkan dari Allah oleh karena Dia adalah satu dengan Allah.
            (3) Akhirnya, Yesus mengatakan secara terus terang bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak mempunyai pengetahuan yang sejati tentang Allah. Kenyataannya bahwa mereka tidak mau mengakui Dia,siapa dan apa Dia, membuktikan hal itu. Yang menjadi kejadian menyedihkan ialah bahwa seluruh sejarah Israel telah diatur sedemikian rupa sehingga orang-orang Yahudi seharusnya dapat mengenali Anak Allah pada waktu Dia datang, akan tetapi mereka sudah terlibat dalam ide-ide mereka sendiri, begitu sungguh-sungguh pada jalan mereka, begitu yakin mengenai pengertian-pengertian mereka sendiri tentang agama. Sehingga menjadi buta terhadap Allah.
Demikian penafsiran Yohanes 8, 12-20 yang penulis kutip dari prespektif Riayad dan Barclay. Namun demikian dari dua penafsiran tersebut, pada akhirnya menaris penulis untuk melakukan analisis terhadap dua penafsiran di atas. Pada dasarnya memberikan penjelesan yang komprehensi akan tetapi dari keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut hemat penulis kelebihan dari  penafsiran Riyadi terletak pada kongklusi dari ayat tersebut yang to the poin yang menggambarkan bahwa Yesus adalah anak Allah yang merupakan utusan tuhan untuk memberikan petunjuk manusia di dunia, yang oleh kaum Farisi ditolaknya tetapi karena belum saatnya mereka tidak menangkap Yesus, ini semua terjadi di dekat Perbendaharaan di dalam Bait Allah. Namun kekurangannya penafsiran tersebut tidak memberikan gambaran terkait latarbelakang atau kronologi munculnya ayat-ayat tersebut yang menyebabkan Yesus menyatakan bahwa Dialah Terang Dunia. Menurut penulis latarbelakang yang tidak dijelaskan akan menimbulkan pemaham yang beranekaragam kembali dan mungkin akan menimbulkan penyalahartian makna.  
Sementara penafsiran oleh Barclay, kelebihannya terletak pada penjabaran kronogi secara runtut atas kemunculan ayat-ayat tersebut, salah satunya mengenai kondisi Perbendaharaan yang memang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang untuk menjalankan peribadatan sehingga pembaca bisa lebih memahaminya secara detail namun kekurangan dari penafsiran tersebut terletak pada penggunaan kalimat yang cukup panjang misalnya dalam menunjukan makna mengikuti dari kalimat  “ Barangsiapa yang mengikuti Aku,,,,” ini memiliki banyak arti yang pada intinya arti-arti tersebut memiliki kesamaan makna. Meskipun demikan penafsiran-penafsiran tersebut pada umumnya memberikan gambaran tentang identitas Yesus sebagai sang petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia atas kehendak Bapa. Sebagai orang awam diantara kedua penafsiran di atas menurut hemat penulis, penafsiran yang lebih mudah dipahami yaitu penafsiran menurut Barclay. Hanya saja ada beberapa kegelisahan yang belum penulis temukan secara spesifik terkait penafsiran Yohanes. Kegelisan tersebut akan penulis sampaikan pada poin penutup. 

Penutup
Pada dasarnya penafsiran di atas dapat penulis simpulkan bahwasanya ayat-ayat Yohanes 8,12-20 menggambarkan tentang identitas Yesus yang merupakan utusan dari Bapa, disini Yesus berperan sebagai perwakilan Tuhan sebagai penerang jalan hidup manusia. Namun sebagai manusia awam yang ingin selalu menambah keilmuan ada beberapa hal yang ingin penulis ketahui lebih dalam lagi terkait ketidakpahaman penulis, pertama mengenai keragaman penafsiran Yohanes akibat kata perumpamaan yang sering muncul, apakah ada penafsiran yang radikal sehingga sering disalah gunakan? Selain itu dalam kehidupan sekarang yang dimaksud dengan Akulah terang dunia tersebut pada intinya ditunjukan untuk memberikan petunjuk atau menambah keimanan umat kristiani saja atau ayat tersebut digunakan sebagai alat legitimasi untuk  menarik umat diluar kristiani untuk mengikuti umat kristiani, adakah hal seperti itu?. Sejauh ini penulis belum mendapatkan jawaban yang secara sepesifik. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis ucapkan Alhamdulillah. Dan demikian penulisan yang dapat penulis jabarkan. 

Daftar pustaka
Brill, J. Wesley. Tafsiran Injil Yohanes. Bandung: Kalam Hidup.

Barclay, William. Transleter Widyapranawa. Injil Yohanes Fasal 8-12. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985.

Lembaga Alkitab Indonesia. Perjanjian Baru: Yunani–Indonesia. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia. 2002.

Keene, Michael. Diterjemahkan oleh Y. Dwi Kopratno. Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuknya, dan Pengaruhnya. Yogyakarta: Kanisius. 2010.

Riyadi Pr,  St. Eko. Yohanes (Firmah Menjadi Manusia). Yogyakarta: Kanisius. 2015












[1] J. Wesley Brill, Tafsiran Injil Yohanes (Bandung: Kalam Hidup)hlm. 16.
[2] Michael Keene diterjemahkan oleh Y. Dwi Kopratno, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuknya, dan Pengaruhnya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 110-111.

[3] St. Eko Riyadi, Pr, Yohanes (Firmah Menjadi Manusia) (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 31-32.
[4] St. Eko Riyadi, Pr, Yohanes (Firmah Menjadi Manusia), hlm 31-37.
[5] St. Eko Riyadi, Pr, Yohanes (Firmah Menjadi Manusia), hlm 39-46.

[6]Lembaga Alkitab Indonesia, Perjanjian Baru: Yunani–Indonesia (Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia, 2002),hlm. 696-698.
[7] St. Eko Riyadi, Pr, Yohanes (Firmah Menjadi Manusia) (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm.203-206.
[8]  William Barclay transleter Widyapranawa, Injil Yohanes Fasal 8-12 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985)hlm. 15-17. 
[9] William Barclay transleter Widyapranawa, Injil Yohanes Fasal 8-12, hlm. 18-19.
[10] William Barclay transleter Widyapranawa, Injil Yohanes Fasal 8-12, hlm.21-24.